17 Mei 2008

Minat Penelitian di Indonesia Memprihatinkan

DR MINAKO SAKAI, ANTROPOLOG DARI UNIVERSITAS NEW SOUTH WALES, AUSTRALIA

Dr Minako Sakai, antropolog Jepang yang rela meninggalkan negaranya untuk penelitian ke sejumlah negara.

Tak banyak perempuan Jepang yang mengabdikan diri di bidang penelitian.Di antara jumlah yang sedikit itu, terdapat nama Dr Minako Sakai.

Sejak 1993 silam, Minako memilih untuk meninggalkan Jepang dan melakukan perjalanan penelitian ke beberapa negara, diantaranya Amerika, Singapura, Indonesia, dan Australia. Bahkan, di negara terakhir itu, akhirnya perempuan asli Jepang tersebut menetap dan tercatat sebagai dosen antropologi di Universitas New South Wales, Australia. Sebagai seorang peneliti dan akademisi, Minako mengaku sangat tertarik mengkaji isu perkembangan ekonomi Islam di Indonesia. Selain itu, sistem yang berlaku dalam dunia pendidikan di Indonesia pun tidak luput dari pengamatannya. Hal itu tidak lain karena Indonesia dan masyarakatnya bukan lagi sesuatu yang asing lagi baginya. “Saya pernah menjadi dosen dan peneliti tamu di UI (Universitas Indonesia), Unair (Universitas Airlangga), Universitas Andalas, dan Unsri (Universitas Sriwijaya),” ujar penyandang gelar S-3 bidang Antropologi Sosial dari Australian National University, Canberra, Australia, ini.

Dari hasil penelitian dan pengamatan ibu satu putra ini, budaya riset di Indonesia dari tahun ke tahun semakin berkurang. Hal itu terlihat dari berkurangnya minat untuk meneruskan riset setelah seorang dosen mencapai level S-3nya. Menurut dia, salah satu penyebabnya, yakni sistem kepangkatan dosen di Indonesia. Kalau di Australia, Inggris, dan Amerika, gelar S-3 merupakan kualifikasi paling rendah untuk menjadi dosen. Bahkan, banyak peneliti harus melamar posisi sebagai peneliti post-doctoral fellow, sebelum diterima sebagai dosen tetap.

Persyaratan untuk diterima sebagai calon dosen tetap itu adalah dengan hasil riset setelah S-3. Setelah diterima sebagai dosen, biasanya posisi dosen itu tidak terjamin sebagai dosen tetap (tenure). Untuk diterima sebagai dosen tetap, biasanya peneliti bekerja lebih keras lagi daripada saat berkuliah meraih S-3 dan setengah mati menulis di jurnal internasional. ”Kondisi berbeda dapat ditemui di Indonesia. Tidak sedikit dosen yang bisa mengurus naik pangkat sebagai profesor hanya berselang beberapa tahun setelah S-3,”tuturnya kepada SINDO.

Istri dari Allan, seorang peneliti yang kini bekerja di Australia National University (ANU), itu mengungkapkan, kendala lain yang menyebabkan peneliti di Indonesia terus berkurang karena faktor kesejahteraan yang tidak mencukupi. Namun ditegaskannya, hal itu tidak hanya dialami para peneliti di Indonesia, tetapi hampir di seluruh dunia. Namun, hal itu tidak lantas menjadi alasan utama untuk tidak melakukan riset. ”Suami saya telah memperoleh S-3 pada 1979 dan pernah bekerja di instansi yang terkemuka di dunia. Bahkan, dia pernah menjalani penelitian tiga tahun di UCLA, tiga tahun di Harvard University, dan tiga tahun di ANU. Namun pada kenyataannya, sampai sekarang suami saya belum mempunyai posisi tetap sebagai peneliti sains (molecular biology),” ungkapnya.

Sebagai orang yang mencintai dunia riset dan banyak berhubungan dengan kondisi Indonesia, Minako sangat menyayangkan kondisi perkembangan IT (informasi dan teknologi) serta teknologi perpustakaan (online journal) yang sangat penting untuk membuka wacana ilmiah internasional. Sebenarnya sudah ada sejumlah jurnal ilmiah di bidang sosial yang sangat bermutu dari universitas di Indonesia setelah era otonomi daerah. Namun, jurnal ilmiah Indonesia tersebut kebanyakan tidak online dan tidak dijual di toko buku. ”Untuk memunculkan kembali minat penelitian di Indonesia, paling tidak langkah yang harus diambil adalah jurnal- jurnal di Indonesia harus dijadikan online, sekaligus website dari universitas di Indonesia perlu dipromosikan lebih keras,” serunya. (iwan setiawan)

foto : iwan setiawan

publikasi : sindo sumsel; sabtu 17 mei 2008; halaman 9

Tidak ada komentar: