07 Desember 2007

Menyulap Binatang Liar Jadi Rupiah

LIKU-LIKU BISNIS REPTILIA DI PALEMBANG

Bagi sebagian orang, binatang reptil mungkin menjijikkan, bahkan menakutkan. Namun, tidak demikian bagi Hasan Budiman, 65. Bagi bapak enam anak ini, reptil justru jadi sumber mata pencaharian. Sejak 34 tahun lalu, Hasan telah menekuni usaha reptilia. Dia menerima ular dan hewan reptilia lain, seperti biawak, labi-labi, kura-kura dan lainnya dari masyarakat untuk ditangkar, sebelum diambil kulitnya untuk dipasok ke sejumlah perusahaan di Medan, Jakarta, dan Sulawesi. Dia mengaku hanya membeli hewan tangkapan yang tidak dilindungi undang-undang (UU) Perlindungan Hewan.


Dua pegawai Hasan memeriksa ular sanca batik.


Awal ketertarikannya menekuni usaha ini karena sejak masih muda dia memang telah bekerja pada seorang pengusaha di bidang yang sama. Setelah sekitar 12 tahun mempelajari seluk beluk bisnis itu, maka pada 1973 dia memutuskan membuka usaha sendiri. ”Selama 12 tahun saya bekerja pada bos, selama itu pula saya belajar. Begitu ada kesempatan dan yakin, ya akhirnya saya buka usaha sendiri,” ungkap pemilik PD Budiman itu.

Pasokan hewan reptil untuk perusahaannya didapatkan dari berbagai agen yang tersebar di wilayah Sumatera Selatan. Bahkan, terkadang ada juga orang yang mengumpulkan hewan reptil dari Provinsi Bangka Belitung dan Bengkulu, yang menjual tangkapan mereka ke perusahaannya yang berlokasi di wilayah Pasar 16 Ilir Palembang. Hasan menerangkan, hewan reptilia yang dibelinya saat ini lebih didominasi ular dan biawak. Khusus untuk ular, hampir setiap hari pasokannya tidak pernah putus. Yang lebih banyak diperdagangkan adalah jenis sanca, khususnya sanca batik. Untuk perhitungan harga, biasanya ular-ular itu dihitung panjangnya dan dihargai berdasarkan kualitas kulit yang dimiliki. ”Pernah kita beli ular satu ekor seharga Rp100.000. Tapi, pernah juga kita beli satu ekor hanya Rp5.000 karena kulitnya sudah rusak,” ujarnya.

Setelah dibeli dan dikumpulkan di tokonya, ular-ular itu dibawa ke penangkaran yang berada di dekat hutan wisata Punti Kayu untuk diolah. Sebelum dipotong, ular tersebut dipisahkan antara yang kulitnya baik dengan yang kulitnya rusak. Hal itu dilakukan karena kualitas kulit yang akan diolah menjadi produk selanjutnya haruslah memenuhi standar yang ditetapkan perusahaan mitra mereka. Selain itu, semua bagian ular yang diolah tidak ada yang tersisa. Sebab, badan serta isi perut ular bisa dimanfaatkan untuk pakan buaya dan ikan patin yang juga menjadi usahanya. ”Setelah disamak, kulit ular yang kualitas baik itu kita kirimkan ke beberapa perusahaan mitra kita yang berada di Medan, Jakarta, dan Sulawesi untuk selanjutnya diproduksi menjadi tas, dompet, sepatu dan bahan-bahan lainnya,” tuturnya.

Hasan mengaku, usaha yang dijalankannya telah mampu membuat perekonomian keluarganya serba berkecukupan. Dia bersyukur karena dari hasil usahanya tersebut, keenam anaknya sudah lulus kuliah. Bahkan, saat ini dia mempekerjakan dua pegawai tetap dan dua pegawai lepas yang membantunya menjalankan usaha itu. Walaupun menerima banyak pasokan reptilia dari para agen maupun masyarakat yang langsung menjual padanya, Hasan mengatakan tidak akan mau membeli jika telah melampaui kuota yang diperbolehkan pemerintah melalui Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Sebab, sesuai peraturan yang berlaku, masyarakat maupun pengusaha reptilia tidak boleh sembarangan dalam menangkap hewan bebas yang ada di alam. Berdasarkan keterangan yang diberikannya, untuk wilayah Sumsel, kuota hewan reptilia yang ditetapkan BKSDA adalah untuk labi-labi 750 ekor per tahun, biawak 75.000 ekor per tahun, dan ular 20.000 ekor per tahun. Hasan mengungkapkan, dari kuota yang diberikan pemerintah itu, untuk ular dan biawak dirasanya sudah ideal. Akan tetapi, dia merasa kuota untuk labi-labi harusnya ditambah karena sudah tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. ”Untuk perusahaan kita sendiri saja, satu hari bisa dapat 100 labi-labi yang dijual agen dan masyarakat. Belum lagi yang ada di pengumpul lain,” tuturnya. (CR-03)

foto : iwan setiawan

publikasi : sindo sumsel; jumat 7 desember 2007; halaman 9