17 Oktober 2008

Pajak Spin Off Pusri Disoal

PALEMBANG (SINDO) – Pemegang saham PT Pusri keberatan membayar pajak senilai Rp2,2 triliun akibat proses pemisahan (spin off) antara holding dan PT Pusri.

Direktur Utama PT Pusri Dadang Heru Kodri mengatakan, pemeriksaan terakhir terhadap aset PT Pusri dilakukan pada 2004 lalu. Dari pemeriksaan itu didapati aset Pusri bernilai antara Rp6 triliun hingga Rp8 triliun. Jumlah itu belum ditambahkan dengan nilai aset jika dilakukan  revaluasi aset tahun ini. “Kalau diperiksa lagi mungkin nilai aset kita bisa lebih. Dari hasil pemeriksaan terakhir itu saja sudah muncul nilai pajak Rp2,2 triliun, apalagi kalau dilakukan revaluasi aset 2008 ini dan dihitung pajaknya,” ujarnya kepada SINDO kemarin.

Menurut Dadang, revaluasi aset dibutuhkan jika proses spin off jadi dilakukan. Sebab, berdasarkan penetapan pajak 2004, maka harus dilakukan pemeriksaan kembali oleh appraisal (penilaian aset). Pajak tersebut nantinya menjadi tanggungan dan kewajiban holding untuk membayarnya. “Holding juga kan punya pemerintah yang dananya berasal dari anak-anak perusahaan, termasuk Pusri sendiri. Jadi, sama saja masih Pusri juga yang kena,” katanya.

Dadang menerangkan, pajak tersebut berasal dari berbagai sektor, seperti pajak pertambahan nilai (PPN), BBHTB, dan pajak revaluasi aset dari PT Rekayasa Industri (Rekin), karena sejak awal berdirinya, 90% saham Rekin dimiliki Pusri. Jumlah itu, kata dia, masih ditambah dengan pajak penarikan saham-saham dari anak perusahaan yang dulunya berstatus badan usaha milik negara (BUMN). Ternyata, besaran pajak yang harus dibayar itu mengundang reaksi para pemegang saham. Mereka menyatakan ketidaksetujuannya jika Pusri harus membayar pajak yang dinilai terlalu besar tersebut. Bahkan, Menteri BUMN yang pernah ditemui juga tidak bersedia jika holding harus membayar sebesar itu. “Pemegang saham telah menyampaikan kepada direksi agar mencari jalan lainnya. Kecuali ada satu solusi bahwa jumlah pajak yang harus dibayar itu menjadi tanggungan pemerintah,” ucap dia.

Selanjutnya, Dadang menjelaskan, proses pembentukan holding membutuhkan waktu karena harus memenuhi syarat administrasi, seperti akta notaris, appraisal baru, dan untuk Pusri diperkirakan butuh waktu hingga Desember 2008. Untuk memenuhi unsur-unsur yang dibutuhkan itu, paling cepat pada Desember 2008 mendatang Pusri baru bisa menggelar RUPS. Jika pemegang saham menyetujui pembentukan holding yang mengharuskan proses spin off terjadi, waktu yang dibutuhkan minimal tiga bulan sejak keputusan RUPS diambil. “Kita sudah laporkan dokumennya lengkap dan menunggu perintah dari pemegang saham,” tandasnya.

Sementara itu, pengamat ekonomi Universitas Muhammadiyah Palembang Amidi mengatakan, dengan dibentuknya holding baru dan Pusri menjadi anak perusahaan, kemungkinan besar pendapatan Pusri bisa lebih meningkat. Menurut dia, dengan menjadi anak usaha, gerakan Pusri semakin luwes. Selama ini, ketika Pusri hendak ekspansi usaha ke sektor lain, selalu terhalang birokrasi holding yang ada saat ini. “Kalau sudah dipisahkan nanti, manajemen Pusri akan lebih konsentrasi di Palembang dan keputusan bisa lebih cepat diambil. Selama ini kan sering rancu, mana orang Pusri mana yang orang holding. Sebab, meski beda struktur, tapi orangnya sama,” tuturnya. (iwan setiawan)

halaman 22

Retail Hardware Bebas dari Krisis

PALEMBANG (SINDO) – Pengelola retail hardware tidak terpengaruh dengan krisis keuangan global.

     Person on Duty Ace Hardware Suherman mengatakan, toko yang menjual beragam peralatan rumah tangga dan perkantoran itu belum terkena dampak krisis global yang menghantam Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara Eropa. Meski produk yang ditawarkan merupakan barang impor, pasokan maupun harga masih normal. “Toko kita tidak terlalu terpengaruh dengan krisis di luar negeri. Kunjungan juga normal saja dan transaksi sudah seperti biasa,” ujarnya kepada SINDO kemarin.

     Suherman menyatakan, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang membuat kenaikan biaya transportasi beberapa waktu lalu memicu terjadinya kenaikan berbagai barang di tokonya yang mencapai 20%. Namun, kenaikan itu tidak terlalu dirasakan konsumen karena yang dicari adalah kualitas barang yang dibeli. Menurut dia, jumlah transaksi di tokonya mencapai 50% dari traffic pengunjung, yang mana untuk hari biasa mencapai 300 orang dan akhir pekan hingga 1.500 orang. “Kita optimistis tingkat penjualan akan meningkat, minimal bertahan pada level yang sekarang. Salah satunya yang membuat kita yakin adalah pertumbuhan member kita yang signifikan,” ucapnya.

     Sementara itu, Department Manager Supporting Hypermart Yimmy HM mengaku, untuk produk tools di tempatnya mendapat respons baik dari konsumen. Meski tingkat penjualan sedikit menurun, Yimmy yakin kondisi ini lebih disebabkan daya beli masyarakat yang menurun pasca-Lebaran. “Namun, saya yakin dalam satu bulan penjualan akan meningkat kembali,” tuturnya. (iwan setiawan)

halaman 22

Kredit Macet Bank Sumsel Diprediksi Miliaran Rupiah

PALEMBANG (SINDO) – Laporan perwakilan Badan Pengawas Keuangan Republik Indonesia(BPK RI) di Palembang atas portofolio PT Bank Pembangunan Daerah Sumatera Selatan (BPD SS) tahun buku 2006 dan 2007 menyatakan, potensi kredit macet mencapai miliaran rupiah.

     Dalam resume hasil pemeriksaan dengan Nomor 14/S/XVIII.PLG/-01/2008 itu, perwakilan BPK RI di Palembang menyatakan bahwa hasil pemeriksaan masih menunjukkan beberapa penyimpangan yang perlu mendapat perhatian, yaitu penyimpangan terhadap kriteria/peraturan yang telah ditetapkan, di antaranya pemberian fasilitas kredit investasi sebesar Rp900 juta tidak sesuai ketentuan. Selanjutnya, pemberian kredit investasi kepada debitur H Fatahilah tidak sesuai peruntukannya dan berpotensi menjadi kredit macet sebesar Rp2,5 miliar. Pemberian kredit kepada Pemerintah Kabupaten Bangka Selatan tidak sesuai ketentuan. Temuan BPK RI itu hanya beberapa contoh kasus yang memperlihatkan bahwa kemampuan analisis yang dilakukan para analis kredit PT Bank Sumsel masih lemah.

    Anggota DPRD Provinsi Sumsel Syarkowi Wijaya mengatakan, manajemen BPD SS harus tegas kepada para debitur yang “nakal” tersebut. Menurut dia, manajemen harus mengambil tindakan sesuai prosedur. Sesuai perjanjian yang biasa dilakukan sebelum akad kredit, maka apabila debitur tidak bisa memenuhi kewajibannya, didahului dengan peringatan lalu dilanjutkan dengan penyitaan aset yang dijaminkan. (iwan setiawan)

halaman 22