08 Februari 2009

Puluhan Ribu Umat Padati Pulau Kemaro

Puluhan ribu umat Tri Dharma memadati Pulau Kemaro pada perayaan puncak Cap Go Meh ke-2.560 tadi malam. Umat yang datang tidak hanya dari Palembang dan berbagai kota besar di Indonesia, melainkan juga dari luar negeri seperti Malaysia, Singapura, dan China. Kegiatan ini sudah menjadi tradisi tahunan umat Tri Dharma.

PALEMBANG
(SINDO) – Kemeriahan mewarnai puncak perayaan Cap Go Meh 2560 di Pulau Kemaro tadi malam. Tepat pukul 00.00 WIB, pijaran puluhan kembang api yang ditembakkan menambah semarak langit di atas Pulau Kemaro.

Puluhan ribu umat Tri Dharma telah memadati Pulau Kemaro sejak pukul 19.00 WIB. Mereka datang secara bergelombang sejak pagi hari hingga menjelang tengah malam. Sebelum sampai pada puncak acara, dipimpin pengurus Kelenteng Hok Tjing Bio mereka melaksanakan ritual yang tidak pernah dilewatkan pada perayaan Cap Go Meh. Salah satunya adalah menyembelih seekor kambing warna hitam di depan makam Buyut Fatimah. Selanjutnya diikuti dengan penyembelihan kambing lainnya hasil sumbangan umat. Perayaan Cap Go Meh ini juga dimeriahkan dengan pertunjukan seni budaya tradisional China seperti barongsai, liong, dan wayang orang China.

Ketua Rohaniawan Tri Dharma se-Indonesia (Martresia) Komisariat Daerah (Komda) Sumsel Chandra Husein mengatakan, perayaan Cap Go Meh merupakan tradisi yang berasal dari leluhur masyarakat Tionghoa dalam mengakhiri masa perayaan tahun baru atau sincia pada hari ke-15 bulan pertama Imlek. Untuk perayaan di Pulau Kemaro sendiri tidak hanya dihadiri warga Tionghoa dari Palembang dan Sumsel melainkan juga dari luar daerah di sekitar Sumsel seperti Jambi, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, bahkan Jakarta. “Beberapa umat Tri Dharma dari luar negeri seperti Singapura, Malaysia, dan China juga ada yang menyempatkan diri untuk merayakan Cap Go Meh di sini,” ujarnya.


Pagoda delapan tingkat yang berada di Pulau Kemaro

Ramainya pengunjung Pulau Kemaro saat puncak perayaan Cap Go Meh telah diantisipasi panitia. Chandra mengatakan, panitia sudah melakukan koordinasi kegiatan dengan pihak terkait seperti kepolisian dan Dishub Kota Palembang. Karena selain pengamanan, pengaturan arus lalu lintas menjadi sesuatu yang penting. “Mudah-mudahan semua kegiatan perayaan berjalan lancar. Karena panitia telah bekerja keras menyiapkan semuanya,” katanya.

Jimmy Lee, 23, seorang umat Tri Dharma yang ditemui SINDO mengaku, setiap tahun dia bersama keluarga dan teman-temannya pasti mengunjungi Pulau Kemaro ketika tiba saat perayaan Cap Go Meh. Menurut Jimmy, perayaan Cap Go Meh di Pulau Kemaro selain untuk menjaga kelestarian tradisi juga diakuinya memiliki arti tersendiri. “Ada rasa yang kurang kalau tidak merayakan Cap Go Meh di Pulau Kemaro. Makanya walau kerja di luar Palembang, kita sempet-sempetin pulang,” tuturnya. (iwan setiawan)

foto : isra triansyah

Novel Keliling Sumatera Berjalan Kaki

Ahmad Novel Alatas (tengah) ketika singgah di base camp Impala Bahtera Buana Polsri kemarin.

PALEMBANG (SINDO) – Perjalanan ekspedisi Jakarta–Sumatera yang dilakukan Ahmad Novel Alatas baru mencapai Palembang, Sumatera Selatan.

Berbeda dengan ekspedisi mengelilingi Nusantara yang pernah dilakukan sebelumnya, Novel lebih memilih melakukannya dengan berjalan kaki. Memulai perjalanan yang diberinya tema “Perjuangan Menembus Batas” pada 15 Desember 2008 lalu, dia tiba di Palembang, Selasa (3/2). Bahkan, sesuai rencana yang dibuatnya, dia akan tiba di Banda Aceh pada15 April 2009. “Mudah-mudahan semuanya lancar sehingga target tidak meleset,” ucapnya singkat di zona wall climbing Impala Bahtera Buana Polsri kemarin.

Menurut Novel, ekspedisi kali ini merupakan aksi kedua setelah sebelumnya pernah melakukan aksi serupa, yaitu Jakarta–Bali pada 2006 silam. Kala itu dia menghabiskan waktu enam bulan untuk menuntaskan aksinya itu. Novel mengungkapkan, terdapat perbedaan mencolok antara kedua perjalanannya itu. Menurut dia, pemandangan alam di sepanjang Pulau Jawa lebih bervariasi dibanding Sumatera yang lebih didominasi perkebunan kelapa sawit dan karet. “Justru ini yang saya cari dan pelajari, perbedaan kultur, bahasa, ragam budaya, dan sistem sosial kemasyarakatan yang berkembang di masing-masing daerah,” tuturnya.

Pemuda asal Keramat Sentiong, Jakarta Pusat, ini menuturkan, ekspedisi yang dilakukannya ini dipandang sebagian besar masyarakat sebagai aksi yang tidak masuk akal. Dia sendiri mengakui, risiko melakukan perjalanan seorang diri terlalu tinggi. Apalagi, melintasi daerah yang belum pernah dilaluinya, bertemu orang yang tidak mau mengerti tujuan aksinya ini, belum lagi risiko bertemu hewan buas atau orang jahat yang bisa mengganggu perjalanannya. “Banyak kok halangannya. Bahkan sepanjang perjalanan dari Jakarta sampai Palembang, seingat saya sudah empat kali digangguin orang yang mau merampas barang bawaan saya. Tapi niat saya sudah bulat dan siap dengan segala risiko yang mungkin ada,” ujarnya.

Novel mengaku akan berada di Palembang selama satu pekan. Selain untuk memulihkan staminanya, istirahat di tiap kota yang disinggahinya juga untuk mengumpulkan kembali semangat dan motivasi dalam dirinya untuk melanjutkan aksinya. Sebab, ia mengakui, aksi yang dilakukannya ini tanpa sepengetahuan orang-orang terdekatnya, termasuk keluarga. Untuk itu, dia harus bisa menjaga semangat agar aksinya bisa tuntas. “Dalam aksi ini gak ada yang tau saya berangkat dari Jakarta ke Aceh, apalagi berjalan kaki. Saya gak mau apa yang saya lakukan ini disiarkan di mana-mana dan menjadi heboh. Makanya juga saya sama sekali gak ngantongin surat jalan,” bebernya. (iwan setiawan)

foto : iwan setiawan