12 Juli 2009

Berharap Sumsel Miliki Kebun Binatang Representatif

WAWANCARA KHUSUS DENGAN PENELITI PPLH UNSRI DR INDRA YUSTIAN MSI

Belum dimilikinya kebun binatang atau taman satwa yang representatif di Sumatera Selatan (Sumsel), membuat miris para pemerhati konservasi satwa liar. Pasalnya, banyak hewan liar yang tertangkap atau sengaja ditangkap oleh masyarakat dan berakhir pada terbunuhnya hewan tersebut.

Akibatnya, spesies hewan tersebut bisa terancam punah hingga menyebabkan kerugian besar bagi generasi selanjutnya. Berikut wawancara wartawan Seputar Indonesia Iwan Setiawan dengan pemerhati konservasi satwa liar dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Sriwijaya (Unsri) Dr Indra Yustian MSi seputar persoalan konservasi satwa liar di Sumsel.

Apa yang menarik dari ilmu biologi konservasi sehingga Anda memutuskan untuk mendalaminya?


Sesuai dengan latar belakang pendidikan saya yang menyerempet biologi konservasi. Sebetulnya, yang saya pelajari itu lebih kepada tarsius, terutama mengenai ekologi dan konservasinya. Tapi, tarsius kan hanya salah satu tools yang arahnya ke manajemen konservasi. Sebab, selama ini masih terdapat kerancuan, mana yang harus dikonservasi, hutan itu sendiri atau spesies di dalamnya. Jadi, ada keinginan untuk meluruskan pemahaman mengenai konservasi yang belum sesuai itu.

Menurut penilaian Anda, bagaimana jalannya konservasi satwa liar di Sumsel?


Sebenarnya, kita punya Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Tapi, di satu sisi, perannya juga berbenturan dengan instansi lain, baik di level lebih tinggi maupun pada level yang sama. Sehingga kewenangannya menjadi sangat terbatas dan hati-hati. Sedangkan secara per individu, saya menilai masih sangat rendah. Sebab, masih banyak pihak yang tidak peduli dengan upaya konservasi, baik masyarakat biasa maupun pejabat dan para elit. Contoh kecil saja, ketika ada pemilihan kepala daerah, belum ada satu pun kandidat yang berani mencanangkan isu-isu lingkungan dalam visi misinya selama masa kampanye. Mereka lebih mengedepankan isu sosial kemasyarakatan. Padahal, persoalan lingkungan juga tidak kalah penting untuk diangkat.

Apakah rendahnya kepedulian itu terkait dengan pengetahuan dan kemampuan yang minim?


Tidak juga. Sebenarnya yang paling paham lingkungan Sumsel, ya, orang Sumsel sendiri. Tapi, memang perlu adanya peningkatan kualitas dari institusi yang memiliki kewenangan konservasi tersebut, sehingga mereka mendapat kepercayaan dari instansi di atasnya serta disegani instansi di level yang sama. Salah satu upaya adalah dengan mulai merekrut sarjana manajemen konservasi. Sebab, sebagai balai konservasi, BKSDA harus lebih profesional menjalankan perannya dengan diisi individu yang berkompeten.

Bagaimana Anda melihat peran pemerintah daerah dalam upaya konservasi?


Saya rasa sudah cukup baik ya. Seperti Palembang yang punya Perda Hutan Kota dan Ruang Terbuka Publik. Namun, ya, itu tadi, karena ada konflik kepentingan dengan instansi di level atas, maka daerah tidak berani menyinggung aset pemerintah pusat yang ada di daerah itu. Padahal, pemerintah pusat sendiri tidak terlalu intens memperhatikan asetnya yang ada di daerah. Sebagai contoh, di Palembang, ya, taman wisata alam (TWA) Punti Kayu. Pemkot Palembang tidak bisa memanfaatkan kawasan di dalam taman wisata tersebut karena masih dalam kewenangan Departemen Kehutanan. Padahal, potensi pengembangan Punti Kayu sangat besar loh untuk dijadikan area konservasi satwa liar.

Bisa dijelaskan lebih lanjut?


Prinsip dari konservasi bukanlah tidak boleh memanfaatkan area tersebut. Boleh dimanfaatkan tapi harus seimbang dengan pemeliharaan biodiversity yang ada di area tersebut. Kalau kita lihat di dalam TWA Punti Kayu beberapa tahun terakhir ini, kan ada penambahan koleksi jenis satwa yang merupakan hasil sitaan BKSDA Sumsel. Selain itu, ada pula beberapa satwa yang sengaja dititipkan atau diberikan warga untuk dirawat dan dipelihara. Dengan kata lain, TWA Punti Kayu telah menjelma menjadi taman satwa atau kebun binatang. Pada dasarnya, kebun binatang bisa menjadi objek pendidikan, sekaligus objek wisata yang bisa diandalkan. Namun, sayangnya, kondisi hewan di sana sangat memprihatinkan. Kandang-kandang hewan terlihat kotor dan kurang terawat. Bahkan, beberapa hewan, seperti halnya orang utan malah tidak memiliki kandang yang ideal.

Sebaiknya apa yang harus dilakukan pengelola taman satwa jika mereka ingin mengembangkan usaha di bidang ini?


Memang, selama ini display (kandang pantau) belum sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh objek yang dikelolanya. Pengelola juga harus berani dan mau meningkatkan pengetahuan pegawainya agar skill yang dimiliki dalam merawat hewan-hewan yang ada menjadi lebih baik. Seperti halnya pengelola TWA Punti Kayu. Saya rasa pengetahuan pegawai yang bertugas mengurusi hewan-hewan yang ada di sana juga tidak terlalu bagus, khususnya mengenai biologi hewan tersebut. Maksudnya di sini, hewan tersebut kan memiliki bawaan masing-masing seperti habitat aslinya bagaimana, makanannya apa, reproduksinya bagaimana. Nah, seharusnya jika hewan tersebut mau dikonservasi, ya, buatlah kandang yang menyerupai habitat alaminya. Meski tidak sama persis, ya, kan bisa saja diakal-akalin. Seperti kelas primata yang karakteristiknya terbiasa bergelantungan, ya, kalau tidak dari pohon, buatkan sesuatu yang bisa mereka gunakan untuk bergelantungan. Hal ini juga sangat bergantung dengan pengetahuan pegawai yang mengurus hewan tersebut.

Harapan Anda mengenai konservasi satwa liar di Sumsel?


Besar harapan saya, Sumsel memiliki kebun binatang yang representatif. Di mana di situ bisa ditempatkan berbagai hewan yang sebaran hidupnya ada di wilayah Sumsel. Sebab, selain untuk sarana rekreasi, kebun binatang juga dibutuhkan untuk keperluan pendidikan dan penelitian. Dengan adanya kebun binatang atau taman satwa maka masyarakat, khususnya anak-anak bisa melihat secara langsung hewan yang selama ini mungkin hanya bisa disaksikan melalui gambar di buku, majalah, atau tayangan televisi. Mereka pun bisa mendengar suara aslinya atau melihat gerakan-gerakan khas hewan tersebut. Jangan sampai karena tidak dimilikinya sarana kebun binatang atau taman satwa membuat satu spesies punah. Seperti halnya harimau Bali, yang kini hanya bisa dilihat melalui foto atau gambar. Tidak bisa dibayangkan kejadian seperti itu juga terjadi kepada harimau Sumatera atau gajah yang merupakan hewan khas yang dimiliki Sumsel. Betapa ruginya generasi muda kita nantinya.

Menurut Anda, mengapa tidak ada yang tertarik membuka kebun binatang di Sumsel?


Setahu saya sudah pernah ada ya, yaitu Kebun Binatang Sriwijaya yang sekarang kolaps. Kayaknya karena perencanaan yang kurang matang. Selain itu, pengelola KB Sriwijaya juga tidak membuka link ke asosiasi kebun binatang sehingga tidak bisa saling sharing mengenai tata kelola dan barter hewan koleksi kebun binatangnya. Selain itu juga dari berbagai pihak yang saya tanya mengenai hal ini, jawaban yang saya terima sungguh ironis. Jangankan kasih makan binatang, kasih makan orang saja masih susah. Jangankan nyekolahin binatang, nyekolahin orang aja masih susah. Jadi, apa ya, masih berbenturan dengan urusan yang dasar. (*)

BIODATA


Nama : Dr Indra Yustian MSi

Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 26 Juli 1973

Pendidikan : - S1 FMIPA Biologi Unsri
- S2 FMIPA Biologi Konservasi UI
- S3 Biologi Konservasi Universitas Goetingen Jerman

Jabatan : - Staf Peneliti PPLH Unsri
- Dosen FMIPA Biologi Unsri (S1)
- Dosen Pengelolaan Lingkungan Unsri (S2)
- Global Tarsier Forum

Istri : Fakhria Mariam

Anak : 2 Putri