Wakil Ketua Komite Keuangan dan Perbankan Kadin Pusat Rachmad Ali mengatakan, krisis finansial global bermula dari salah urus kredit bank di Amerika Serikat (AS) yang menyebabkan kredit macet. Masalah subprime mortgage (kredit atau pembiayaan perumahan) di AS sudah tampak pada Agustus 2007. Sebenarnya ini sudah diduga akanmenjadi bubble (gelembung), tapi
pemerintah AS terus menggelontorkan dana diikuti dengan penurunan suku bunga. Uang makin banyak, sampai-sampai orang yang tidak mempunyai pekerjaan, penghasilan, atau aset, bisa mendapat pinjaman. Uang yang banyak ini juga memunculkan berbagai kreasi produk keuangan seperti prime atau subprime mortgage (surat berharga untuk membiayai perumahan).
”Cepat atau lambat, orang yang tidak punya penghasilan pasti tidak dapat membayar kembali pinjaman yang diterimanya sehingga terjadilah kredit macet besar-besaran di AS,” ujarnya.
Tidak cukup sampai disitu. Rachmad mengatakan, persoalan lantas menjadi sistemik dan meluas. Hampir semua lembaga keuangan di AS terlibat dalam transaksi yang berujung pada kredit macet tersebut. Aset dan neraca menjadi bolong, ekuitas negatif, dan lembaga pembiayaan perumahan gagal bayar. ”Kalau lembaga pembiayaan perumahan yang besar, seperti Fannie Mac & Freddie Mac serta Lehman Brother saja mengalami gagal bayar, apalagi yang lain. Meski pemerintah AS mengucurkan dana talangan untuk menyelamatkan perusahaan tersebut, tapi Lehman telanjur ambruk diikuti lembaga pembiayaan perumahan lainnya,” katanya.
Hal di atas hanyalah sedikit gambaran betapa pemberian kredit konsumtif sangat berisiko. Apalagi, saat ini perbankan terlihat sangat giat melakukan ekspansi kredit, terutama kredit konsumtif. Rachmad yang juga menjabat Dewan Penasihat Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) ini menjelaskan, apabila kredit dilakukan secara berlebihan, uang giral akan menumpuk sehingga bisa menyebabkan peningkatan inflasi. ”Permasalahan saat ini kebanyakan bank menyalurkan kredit yang digunakan untuk kepentingan konsumtif. Kalau disalurkan untuk usaha produktif sih tidak terlalu masalah,” katanya.
Sementara itu, Direktur Utama Bank Sumsel Asfan Fikri Sanaf mengatakan, pihaknya tidak akan mengubah orientasi kredit tahun ini karena pengucuran kredit tersebut telah direncanakan
sebelumnya dan telah disusun target berjangka. Jadi, untuk mengubahnya sangat sulit dilakukan, apalagi dalam waktu yang singkat. “Bank Indonesia memang meminta perbankan merevisi target kredit untuk mengeliminasi dampak krisis keuangan global, tapi kami tidak akan melakukannya. Kami akan tetap komit menjalankan rencana pengucuran kredit yang telah disusun,” ucapnya.
Asfan menuturkan, tahun ini kredit yang disiapkan Bank Sumsel sebesar Rp3,5 triliun terbagi dalam dua kategori, yaitu kredit konsumtif yang mencapai 60% dan kredit produktif 40%. Dari 40% kredit produktif tersebut, beberapa persen di antaranya dikucurkan pada sektor usaha mikro kecil menengah (UMKM). Menurut Asfan, kredit konsumtif tidak bisa ditinggalkan karena sektor itu merupakan pangsa pasar terbesar Bank Sumsel. “Kami ini bank daerah, jadi kembalinya ke daerah juga. Salah satunya, kami membantu PNS untuk meningkatkan kesejahteraan,” tutur dia. (iwan setiawan)
halaman 22