29 Juli 2008

Terasa Dingin Dipakai dan Tak Mudah Terbakar

KAIN TENUN IKAT ENDEK DARI BALI

Wawan memperlihatkan kain endek saat berkunjung ke Kantor Redaksi SINDO Sumsel.

Selain batik, masih banyak kain khas lain yang menjadi ciri budaya Indonesia. Salah satunya, kain endek dari Bali. Apa saja keistimewaannya?

Kekayaan yang dimiliki bumi Indonesia memang tiada duanya di dunia. Di Nusantara tersebar ratusan pulau dan suku, budaya, serta adat istiadat. Bali sebagai ikon budaya Indonesia juga memiliki kain tenun ikat tradisional yang dikenal dengan sebutan kain endek. Seperti halnya songket dari Palembang, kain endek awalnya hanya digunakan para orangtua dan kalangan bangsawan di Bali. Namun, seiring perkembangan zaman, kini hampir sebagian besar masyarakat Bali sudah bisa mengenakannya, baik untuk upacara besar maupun sembahyang ke pura. Bahkan, pegawai di instansi pemerintahan Bali kini menggunakannya sebagai seragam. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk menjaga eksistensi kain tenun ikat khas Bali itu. Upaya lain, agar kain khas Bali bisa lebih dikenal masyarakat. Nah, banyak cara untuk mengenalkan sekaligus memasarkan kain tenun ikat khas Bali tersebut, antara lain dengan membawanya berkeliling Indonesia.

Seperti yang dilakukanWawan, 25, warga Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Dengan hasrat ingin mengenalkan kain endek ke seluruh Indonesia, Wawan rela melakukan perjalanan panjang hingga kakinya tiba di Bumi Sriwijaya. Sebelum berada di Palembang, sejumlah kota di Pulau Sumatera sudah dia singgahi dalam dua bulan terakhir. “Kain khas Bali ini memiliki karakteristik khas, yaitu dingin seperti basah, tapi gak basah. Selain itu, benangnya gak mudah putus,” ujar Wawan di Kantor Redaksi SINDO Sumsel belum lama ini.

Yang paling membedakan, kata dia, kain endek ini jika terkena api, seperti puntung rokok, tidak mudah terbakar. Bahannya unik. Selain menggunakan benang katun, kain endek ada yang terbuat dari pelepah batang pisang. Kain ini memiliki sedikitnya 10 motif. Meski kain endek banyak dijumpai dalam wujud taplak meja, gorden, tas endek, baju, dan bentuk lain, umumnya kain endek dijual dalam bentuk kain lembaran. Harga yang ditawarkan pun bervariasi, tergantung kekhasan motif dan kualitas bahan. Menurut Wawan, kain endek bisa didapat dengan harga mulai ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Untuk kain lembaran ukuran 2,25 meter, biasanya dijual seharga Rp200.000. “Tapi namanya dagang, ya tergantung kesepakatan antara penjual dan pembeli. Kalau kita sih yang penting masyarakat bisa tahu bahwa Bali juga punya kain khas yang bisa dibanggakan, seperti halnya batik dan songket,” tukas dia.

Untuk satu potong kain endek, proses pembuatannya bisa menghabiskan waktu dua minggu hingga dua bulan. Warna dan motif tenunan bisa dipilih sendiri oleh konsumen atau tergantung pesanan. Pemakaian warna tidak boleh sembarangan karena akan memengaruhi hasil warna kain. Jika menggunakan pewarna sembarangan, kain akan mudah luntur dan cepat pudar. (iwan setiawan)

foto : iwan setiawan

publikasi : sindo sumsel; selasa 29 juli 2008; halaman 9

24 Juli 2008

Putra Sumatera Selatan Pertama Pimpin Freeport

ARMANDO MAHLER, PRESIDEN DIREKTUR DAN CEO PT FREEPORT INDONESIA

Salah satu putra daerah Sumatera Selatan berhasil menjadi Presiden Direktur dan CEO PT Freeport Indonesia sejak 2006. Lulusan Teknik Tambang Universitas Sriwijaya ini merintis karier dari level terendah di pertambangan emas terbesar di dunia.

Dalam beberapa kesempatan, Armando Mahler kembali ke Sumsel, baik sebagai top leader Freeport maupun pribadi. Khusus kepada pembaca SINDO, Armando menceritakan sedikit pengalamannya selama jauh dari kampung halaman di Kayu Agung, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).

Berikut wawancara khusus wartawan SINDO Sumsel Aina Rumiyati Aziz dan Iwan Setiawan dalam sebuah kesempatan.

Awalnya banyak yang meragukan keputusan Anda bekerja di PT Freeport Indonesia (Papua). Apa yang memantapkan hati Anda untuk mengambil kesempatan itu?

Seperti halnya alumni pertambangan lainnya, setelah lulus, saya mengajukan ke Dinas Pertambangan. Tetapi setelah menunggu selama enam bulan, kok tidak dipanggil-panggil. Nah, saat itu saya membaca di sebuah koran nasional adanya lowongan PT Freeport Indonesia dan saya coba mengirimkan lamaran. Dari situlah teman-teman bilang ngapain pergi ke ujung dunia. Kata mereka, saya cari mati kalau benar berangkat. Tapi itu tidak menyurutkan niat saya, karena saya pikir orang pertambangan larinya harus ke pertambangan.

Bagaimana perasaan Anda saat pertama kali tiba di Papua?

Alhamdulillah, meski saya sarjana pertama dari Sumsel yang memilih ke Papua, banyak pekerja Freeport yang berasal dari Sumsel. Bahkan di sana ada kerukunan keluarga Sriwijaya (KKS), dan itu cukup untuk menghilangkan rasa kangen akan kampung halaman.

Kabarnya, sempat mengeluhkan pekerjaan yang dipilih sendiri, mengapa?

Ya, memang saya akui kondisi itu sempat terjadi. Sebab, bayangan kita dulu kan kerja sarjana tambang pasti wah, terutama yang bekerja di Pertamina. Tapi kondisi sebaliknya justru saya alami saat tiba di Papua. Pikiran saya waktu itu, kok masuk di dunia pertambangan malah jadi kuli. Selama dua tahun, saya harus menjalani training dan digembleng mulai dari pikul alat, angkut eksplosif (bahan peledak), bor, dan macam-macam. Bahkan waktu itu saya sempat terlintas untuk pulang karena nggak kuat. Tapi saya kuatkan hati untuk terus menjalani apa yang sudah saya pilih. Akhirnya saya memahami bahwa dibalik setiap peristiwa ada hikmah. Setelah memasuki tahun ke-5 kita di-assign, baru terasa yang sebenarnya sedang diajarkan trainer selama dua tahun pertama bergabung di Freeport.

Hikmah apa yang bisa diambil selama pelatihan berlangsung?

Saya jadi lebih memahami kondisi suatu pekerjaan dan itu sangat bermanfaat ketika diberikan tanggung jawab membawahi pekerjaan. Jadi, singkatnya saya tidak bisa dibohongi staf, karena tahu apa yang mereka kerjakan. Selain itu, selama dua tahun saya berhasil mendapatkan 70 license (izin) operasional peralatan pertambangan. Kesulitan untuk mendapatkan license itu sangat tinggi karena kita harus training alat dalam waktu sekian jam, selanjutnya dites. Kalau lulus, barulah dikasih license-nya. Sebenarnya, masih banyak peralatan yang harus dimiliki license-nya, tapi jumlah 70 license itu sudah bisa dibilang menguasai teknis operasional semua peralatan pertambangan di Freeport.

Apa pengalaman kerja di Freeport yang mengubah kehidupan Anda?

Setelah dua tahun lebih bekerja dan naik jabatan menjadi supervisor, saya punya tanggung jawab kian berat. Namun, hingga tujuh tahun menjabat, saya tidak juga naik. Saya tahu perusahaan tidak mempromosikan karena menilai tingkah laku saya masih jelek. Saya ini orangnya temperamental. Bahkan saya pernah memukul pegawai karena hampir memukul supervisor. Lantas saya diskorsing selama hampir dua bulan. Selama satu bulan masa skorsing, saya mendapatkan nasihat dari atasan agar mengubah perilaku. Atasan saya itu menasihati bahwa 80% perubahan perilaku ditentukan oleh diri kita sendiri, sedangkan sisanya dari orang lain. Dia menyarankan saya untuk selalu berpikir dulu sebelum bertindak.

Tampaknya Anda tipe orang yang tidak puas atas satu keberhasilan dan ingin terus mempelajari dan menguasai sesuatu yang baru?

Kalau ingin berhasil, ya harus seperti itu. Jangan mudah puas dan terus belajar mengenai sesuatu ilmu dan pengetahuan yang belum kita kuasai. Belajarnya pun tidak harus selalu dengan orang yang levelnya di atas kita. Ini merupakan kelemahan para sarjana kita yang tidak mau belajar dari orang-orang yang berada di bawahnya. Justru saya banyak berguru kepada pegawai nonstaf karena pengalaman mereka lebih banyak dalam menyelesaikan persoalan di lapangan.

Jadi Anda menyinergikan teknologi dan pengalaman?

Di dunia pertambangan, kedua hal itu sangat penting artinya. Teknologi dibutuhkan untuk menentukan titik koordinat kandungan bijih yang akan dieksplorasi. Akan tetapi, pengalaman dan insting saat kita berada di lapangan sedikit berbeda dari panduan yang dikeluarkan komputer. Pernah saat saya magang di Pemala, ada orang yang buta huruf dan tingkat pendidikannya rendah. Tetapi dia tahu posisi nikel yang memiliki grade tinggi. Bahkan, seingat saya dulu justru ada doktor geologi yang belajar dari dia. Jadi, semakin kita dekat dengan alam, alam akan bersahabat dengan kita.

Selama 25 tahun bergabung di Freeport, apa yang paling berkesan selain diangkat menjadi presiden direktur?

Yang paling berkesan adalah ketika dipercaya bekerja di lokasi pertambangan baru Freeport, yaitu di Grasberg pada 1988. Setelah membangun jalan, membersihkan lokasi, dan melakukan drilling and blasting, akhirnya pada 1989 kita sudah bisa operasi penambangan. Meski umurnya sudah mau habis pada 2015 mendatang, saya masih bercita-cita tetap berada di Grasberg hingga ditutup untuk membuat rekor. Saya patut berbangga karena jarang sekali di Indonesia ini ada orang yang mendapat kesempatan menambang mulai dari nol hingga menjadi lokasi tambang kelas dunia.

Lantas bagaimana Anda menjalankan keselarasan antara operasional pertambangan dan lingkungan?

Mungkin masyarakat di luar Papua tidak percaya bahwa Freeport dalam menjalankan usaha pertambangannya sangat memerhatikan lingkungan sekitar. Orang di luar pertambangan menganggap pembukaan tambang Grasberg telah menggunduli hutan di gunung tersebut dan Freeport telah melakukan pembalakan terhadap pepohonan di sekitar tambang. Ini yang tidak pernah terekspos ke masyarakat. Justru keadaan sebaliknya berlaku di Papua. Kita telah menanam lebih kurang 2,5 juta pohon dari berbagai jenis seperti estuari, matoa, sagu, dan bintangor. Selain itu, perlu saya luruskan bahwa di Grasberg tidak ada kayu gelondongan yang ditebang karena memang di gunung itu hanya terdapat rumput dan tanaman pakis gunung. Oleh sebab itu gunung tempat penambangan diberi nama Grasberg yang artinya “gunung rumput” dalam bahasa Belanda.

Selain kegiatan reboisasi itu, untuk apalagi dana Community Development (CD) Freeport dan untuk 2008 ini berapa besarannya?

Untuk 2007, kita keluarkan Rp 971 miliar naik dari 2006 yang hanya Rp 600 miliar. Pada 2008 belum kita rekapitulasi karena masih terus berjalan berbagai pembangunan untuk masyarakat. Soal alokasi itu, dananya untuk program pendidikan, pelayanan kesehatan, pembangunan fasilitas umum, pembangunan ekonomi kerakyatan, lembaga adat, dan lembaga keagamaan. Bahkan kita punya departemen khusus untuk mengurus persoalan penyaluran CD. Saat ini kita sedang selesaikan pembangunan bandar udara di tengah gunung. Tepatnya di daerah Singa untuk mempermudah akses transportasi masyarakat yang tinggal di pegunungan. Selain itu, kita telah dan masih membangun rumah sehat sederhana yang diserahkan kepada masyarakat secara gratis. Meski untuk membangun rumah dengan tipe 54 dan 70, Freeport harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 500 juta per unit.

Rp 500 juta untuk satu unit rumah tipe 70?

Iya, Anda nggak percaya kan? Soalnya perumahan yang kita bangun itu berada di pegunungan yang belum memiliki akses jalan darat yang bisa dilewati truk pengangkut material. Jadinya, material bangunan untuk mendirikan rumah tersebut dibawa dengan helikopter. Sampai sekarang sudah 2.000 unit rumah lebih yang kita bangun. Meski mahal, Freeport tetap berkomitmen untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat terutama yang berada di sekitar tambang.

Meski Freeport memberikan sumbangan besar bagi negara melalui pajak, royalti, dan dividen, mengapa tidak lantas membuat semua pihak puas?

Memang pada 2007 lalu, Freeport membayar kepada pemerintah senilai hampir USD 1,8 miliar atau sekitar Rp17 triliun. Namun memasuki 2008 ini, angka produksi tembaga, emas, dan perak, lebih kecil dibanding 2007.

Bagaimana menyikapi keinginan pembubaran Freeport?

Kita perlu melihatnya secara jernih. Sebab, apakah itu murni dari keinginan masyarakat atau ada keinginan pihak ketiga yang tujuannya mengambil keuntungan. Indonesia ini sangat kaya akan sumber daya alam tapi kemana para pengusaha lokal? Mengapa mereka nggak mau terjun ke bidang pertambangan? Yang lebih kita sesalkan ketika ada pihak yang sudah belanja, kemudian memasak dan siap memakan eh tiba-tiba ada pihak lain menyerobot. Maka itu desakan tersebut kita tanggapi dingin saja.

Bagaimana perasaannya membawahi 20.000 karyawan?

Pegawai kita saat ini sudah hampir 21.000 orang. Lebih kurang 35% di antaranya merupakan karyawan dari lokal Papua. Sementara karyawan PT Freeport hampir mencapai 11.000 orang dan sisanya merupakan karyawan kontrak. (*)

BIODATA

Nama : Armando Mahler
Tempat, Tanggal Lahir : Palembang, 3 Maret 1955
Istri : Fanny Mahler
Anak : Tiga orang putri
Pendidikan : - Teknik Tambang Universitas Sriwijaya lulus 1982
- SMPP 26
- SMP Advent
- SD Xaverius 4

Pekerjaan
> November 2006–sekarang : Presdir dan CEO PT Freeport Indonesia
> Juli 2006–November 2006 : Presdir dan GM PT Freeport Indonesia
> 6 Februari 2006–Juni 2006 : Deputi Presdir PT Freeport Indonesia
> September 2004–Februari 2006 : EVP dan GM PT Freeport Indonesia
> Februari 2002–September 2004 : VP Grasberg Mine Service PT Freeport Indonesia
> July 1983–Januari 2002 : Manager Grasberg Tambang Terbuka PT Freeport Indonesia

21 Juli 2008

Rela Berurusan dengan Polisi demi Mendapatkan Solar

KISAH AAN SUJANA, OPERATOR GENSET EVENT-EVENT BESAR

Beberapa teknisi mesin genset tengah memperhatikan mesin genset di sebuah event besar yang digelar di Palembang.


Tidak pernah terlintas di benak Aan Sujana, 40, untuk menjadi operator genset seperti yang dijalaninya saat ini. Apalagi sampai ikut terlibat di event-event besar. Ketika memutuskan untuk merantau dari Bandung tanah kelahirannya, dia hanya bertekad untuk bisa menghidupi istri dan ketiga anaknya. Pada awal tibanya di Palembang, Aan melamar pekerjaan sebagai sopir pada CV Kurnia Lasindo Jaya (KLJ), yang bergerak di jasa penyewaan genset dan AC. Bergabung sejak 2002 silam, mulanya Aan bekerja sesuai kemampuan yang dimilikinya yaitu menjadi sopir. Namun, selama menjadi sopir, dia juga ikut membantu persiapan dan pemasangan genset atau AC saat perusahaannya mendapat order untuk melayani event-event besar yang memerlukan jasa perusahaannya. ”Awalnya belajar sedikit-sedikit. Lalu, karena perusahaan kekurangan orang, saya diminta untuk merangkap menjadi teknisi,” ujarnya ditemui SINDO pada sebuah gelaran pameran di Plaza Benteng Kuto Besak (BKB) belum lama ini.

Setelah dua tahun mempelajari seluk beluk pekerjaan operator genset, pada 2004 lalu, Aan dipercaya untuk menjadi operator penuh. Sejak itu, setiap ada event besar yang memanfaatkan jasa penyewaan genset perusahaannya, Aan beserta empat orang rekannya menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas operasional ketersediaan sumber listrik selama acara berlangsung. Pada setiap event pameran yang menggunakan jasa perusahaannya, Aan dengan setia menjaga tujuh genset ditambah satu genset cadangan yang dipergunakan untuk mengalirkan listrik ke stan-stan peserta dan AC yang dipasang untuk memberikan suasana sejuk di dalam tenda besar yang ditempati para peserta. Menurut suami Eni Erianti ini, jam kerja mereka selama pameran dimulai pukul 07.00 WIB–22.00 WIB. Tujuh genset dengan daya total yang dihasilkan 1.650 KVA itu baru dinyalakan sekitar pukul 09.00 WIB atau menunggu para peserta berdatangan. ”Konsumsi BBM tiap genset ini sangat besar jadinya dalam mengoperasikannya kita harus optimal dan seperlunya,” tuturnya.

Aan menjelaskan, dalam satu hari operasi, sedikitnya dibutuhkan sembilan drum solar yang masing-masing berisi 200 liter untuk menyalakan tujuh genset selama 13 jam. Jadi, selama penyelenggaraan pameran yang biasanya berlangsung sepekan, setidaknya dibutuhkan BBM jenis solar sebanyak 14.400 liter (9@200 liter x 8 hari). Jika dikalikan dengan harga solar bersubsidi saat ini, yaitu Rp5.500 per liter, biaya yang tersedot untuk menerangi dan mendinginkan udara di dalam tenda selama penyelenggaraan event adalah Rp79,2 juta. Meski tidak memusingkan biaya itu karena ditanggung event organizer (EO), Aan justru mengkhawatirkan pasokan solar yang dikirim per hari. Khusus untuk urusan solar, dia dan rekan-rekannya terkadang mendapati pasokan BBM itu terlambat datang, sementara persediaan solar yang ada di lokasi sudah menipis. Apalagi solar yang dibeli dari SPBU sering dipermasalahkan pihak berwajib karena dinilai melanggar hukum. Padahal mereka telah mengantongi perizinan baik dari penyelenggara event, pemerintah, bahkan sampai Pertamina.

Kendati sering berurusan dengan pihak kepolisian, namun dia tetap enjoy menjalani profesinya. Apalagi pekerjaan yang dilakukannya menyenangkan orang lain. ”Namun, tetap saja sering kali pasokan BBM yang akan digunakan untuk memasok genset ditahan pihak kepolisian. Sebagai penyedia jasa layanan genset profesional, terputusnya aliran listrik karena genset kehabisan bahan bakar tentu tidak bisa ditolerir. Sebab, kalau sampai ada masalah, seperti listriknya padam akibat solarnya habis, ada rasa bersalah juga. Yang pasti orang di dalam tenda akan kepanasan karena AC juga mati,” katanya. (iwan setiawan)

foto : iwan setiawan

publikasi : sindo sumsel; senin 21 juli 2008; halaman 9

13 Juli 2008

Penambah Keindahan Kota yang Rawan Digusur

GELIAT USAHA TANAMAN HIAS

Seorang pedagang merapikan tanaman hias yang ditawarkan dengan harga hingga ratusan ribu rupiah, kemarin.

Usaha tanaman hias makin menjamur di penjuru Kota Palembang. Meski sering berpindah lokasi, usaha ini masih dapat bertahan. Tidak hanya itu, keberadaan usaha tanaman hias ini secara tidak langsung menambah semarak dan sejuk pinggiran jalan yang dilintasi para pengendara kendaraan bermotor. Secara umum, pembeli tanaman hias ini berasal dari golongan menengah ke atas. Dodi, 27, seorang penjual tanaman hias, menuturkan, dalam satu hari, rata-rata pembeli yang datang ke depotnya mencapai 20 orang. Bunga atau tanaman hias yang dibeli pun beragam, mulai kamboja, butterfly, anturium, adenium, dan eporbia. Sementara soal harga, ditawarkan bervariasi, mulai puluhan hingga ratusan ribu rupiah. “Ada yang beli satuan, tapi ada juga yang beli partai besar, seperti event organizer untuk kebutuhan pesta atau acara pertemuan,” ungkap Dodi yang membuka usaha di Jalan Residen Haji Abdul Rozak,Palembang.

Untuk memenuhi stok bunga dan tanaman hias di depotnya, Dodi memasoknya dari pengembang biak tanaman hias di Bandung, Jawa Barat. Setidaknya dalam satu bulan dia memesan hingga dua kali, itu pun tergantung stok di depotnya. Namun, dari beberapa bunga dan tanaman hias yang ada, terdapat pula hasil pengembangbiakan yang dilakukannya sendiri. Dalam satu bulan, usaha yang dijalankannya itu bisa menghasilkan pendapatan bersih minimal Rp5 juta. Bahkan, kalau penjualan meningkat karena banyak kegiatan yang membutuhkan tanaman hiasnya, dia bisa meraup penghasilan hingga Rp10 juta/bulan. Penghasilan itu tidak hanya berasal dari hasil penjualan bunga dan tanaman hias, tetapi dari berbagai komoditas lain, seperti pot bunga dan pupuk. “Biasanya pelanggan membeli itu kan satu paket komplit yang terdiri atas tanaman, pot, dan pupuknya. Alhamdulillah, dengan usaha ini saya bisa menghidupi keluarga saya dengan rezeki yang halal,” tukasnya.

Namun siapa sangka, sewaktu-waktu keindahan yang ditebarkan para pedagang tanaman hias ini bisa lenyap seketika. Sebab, bagaimana pun juga, lahan usaha yang mereka tempati saat ini merupakan jalur hijau yang secara peraturan tidak boleh ditempati, apalagi digunakan sebagai lahan usaha. Entah apa pertimbangan pihak Pemerintah Kota Palembang yang hingga saat ini belum menertibkan usaha tanaman hias seperti yang dilakukan sejumlah pemerintah di beberapa kota lain. Menurut Dodi, sebenarnya Wali Kota Palembang sudah menyediakan lahan bagi mereka di daerah Jakabaring. Akan tetapi, karena lokasinya terlalu jauh dan para konsumen telah terbiasa mendatangi tempat berjualan sekarang, maka dia dan rekan-rekannya keberatan untuk dipindahkan ke Jakabaring. Namun, Dodi mengaku siap jika sewaktu-waktu Pemkot Palembang melakukan penertiban dan memindahkan usahanya ke lokasi baru. “Pelanggan kan sudah terbiasa beli di sini, sekalian lewat. Kalau usaha kita dipindah semua ke Jakabaring, berarti pelanggan harus menyempatkan diri untuk mencari tanaman hias. Nah, itu yang bikin berat,”ujar dia mengeluh.

Bapak satu anak buah pernikahannya dengan Novi Fitria ini menceritakan, dia terjun ke usaha penjualan tanaman hias sejak 2005 lalu. Awalnya, Dodi mengaku kebingungan ketika memutuskan menikah, tapi tidak memiliki pekerjaan tetap. Akhirnya, karena mendapat dukungan sang istri, dia pun memberanikan diri membuka usaha tanaman hias. “Keahlian saya biasa-biasa saja, sehingga untuk kerja kantoran kayaknya gak mungkin,”tuturnya.

Tetapi, karena sudah punya tanggungan istri, Dodi pun harus bekerja keras dan pantang mundur. Ini dilakukan tak lain untuk menghidupi keluarganya. Prospek usaha tanaman hias pun masih sangat bagus ke depannya. Apalagi, saat ini pemerintah mulai menggalakkan kembali penghijauan kota yang dimulai dari tiap rumah warga. (iwan setiawan)

foto : iwan setiawan

publikasi : sindo sumsel; minggu 13 juli 2008; halaman 9

11 Juli 2008

Tanpa Seremoni, Langsung Disambut Pertandingan

MENENGOK PERSIAPAN PANPEL SFC MENJELANG LAGA PEMBUKA

Serunya pertemuan juara Liga Indonesia 2007 Sriwijaya FC (SFC) yang akan menjamu Persipura Jayapura mulai menghangatkan atmosfer Palembang. Di setiap sudut kota terdengar perbincangan membahas tim mana yang akan memenangkan pertandingan sarat gengsi itu. Tim Mutiara H i t a m — julukan Persipura—datang dengan ambisi membalas kekalahan menyakitkan di final Piala Indonesia 2007. Sementara SFC tentu tidak ingin malu di kandang sendiri. ”Pasti seru pertandingan di Jakabaring nanti. Kayaknya harus menonton langsung di stadion kalau begini,” ujar Muhammad Arsa, salah satu pendukung setia SFC.

Namun, serunya laga pembuka tersebut ternyata tanpa diiringi seremonial pembukaan seperti tahun-tahun sebelumnya. Itu karena sebelumnya Badan Liga Indonesia (BLI) telah menggelar launching di Jakarta dengan menyelenggarakan pertandingan tim Super Eleven vs Fantastic Eleven di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (6/7).

Sekretaris panitia pelaksana (Panpel) pertandingan kandang SFC Faisal Mursyid mengatakan, keputusan mengenai launching sepenuhnya kewenangan mutlak dari BLI. Pemilihan pertandingan SFC vs Persipura sebagai pertandingan pembuka Liga Super 2008 pun merupakan pilihan dan penetapan BLI. ”Hal itu kan sudah dijadwalkan BLI. Jadi, panpel pertandingan tim hanya menuruti dan menyiapkan situasi pertandingan semaksimal mungkin,” ungkapnya.

Menurut Faisal, sampai dengan hari ini tidak ada konfirmasi dari BLI yang menyatakan bahwa ada seremoni sebelum kick-off pertandingan yang dijadwalkan pukul 15.30 WIB besok. Hal itu bukan masalah bagi panpel pertandingan. Karena, mereka lebih fokus pada persiapan berbagai sektor yang menjamin lancarnya pertandingan berlangsung. ”Saya rasa masyarakat sudah tahu adanya Liga Super 2008, sehingga masalah launching tidak berbarengan pertandingan perdana bukan alasan mereka tidak mau menonton ke stadion,” tuturnya.

Di luar kapasitasnya sebagai Sekretaris Panpel pertandingan SFC, Faisal sangat menunggu- nunggu pertandingan SFC vs Persipura. Hal itu lantaran kedua tim merupakan gambaran kekuatan baru di kancah sepak bola Indonesia. ”Ini pertemuan dua kutub berbeda, pertemuan wakil Barat dan Timur. Jadi, saya rasa pertandingan ini memang layak diberi label super big match,” tandasnya.

Persiapan Stadion Gelora Sriwijaya (SGS) Jakabaring sendiri untuk menggelar pertandingan kandang Laskar Wong Kito terus dibenahi. Rumput lapangan kini sudah hijau dan segar kembali. Bahkan, untuk menjaga kesegaran rumput, sejak digunakan Selasa (8/7), pada uji coba terakhir SFC, Stadion SGS Jakabaring sementara waktu tidak digunakan buat latihan maupun pertandingan. (iwan setiawan)

foto : mushaful imam

publikasi : sindo sumsel; jumat 11 juli 2008; halaman 27

08 Juli 2008

Raup Rezeki Lebih Besar saat Pilkada

MELIRIK USAHA PENJUALAN BAMBU

Jamilah menunjukkan persediaan bambu yang siap dijual. Pilkada membawa keuntungan bagi pedagang bambu.


Di balik keriuhan gelaran pilkada di sepanjang tahun ini, membuat beberapa sektor usaha menangguk keuntungan, seperti percetakan dan konveksi. Namun, ada satu lagi sektor usaha yang turut meraih berkah dengan adanya pesta demokrasi rakyat tersebut. Ya, usaha penjualan bambu yang dipergunakan untuk mengikatkan berbagai bendera, spanduk, dan umbul-umbul dukungan kepada para calon yang terkadang tidak diperhatikan masyarakat. Padahal, jika dihitung, selama tahapan Pilkada Kota Palembang yang lalu, ribuan batang bambu dipergunakan dalam kegiatan tersebut.

Salah seorang penjual batang bambu di Jalan Ki Merogan, Kecamatan Kertapati, Syahabudin, 54, mengaku telah menjalankan usaha penjualan bambu ini sejak 2002 lalu. Awalnya, dia berjualan batang bambu sebagai sampingan dari usaha penjualan kayu bakar yang dijalankannya. Menurut bapak lima anak itu, usaha penjualan batang bambu ternyata cukup menjanjikan. Sebab, saat ini di Palembang khususnya, tidak pernah berhenti kegiatan yang membutuhkan batang bambu untuk mengikatkan umbul-umbul guna memeriahkan suasana. ”Alhamdulillah, ada saja rezeki untuk usaha kita ini. Kegiatan di Palembang yang semakin ramai ini juga mendongkrak penjualan batang bambu,” ujarnya.

Batang bambu yang ada di depot Syahabudin, sebagian besar berasal dari Kecamatan Gelumbang, Kabupaten Muaraenim, tepatnya dari Dusun Jambu dan Dusun Gumai. Setiap bulan, dia memesan kepada pengumpul di sana (Muaraenim) dan dikirimkan 1.000 batang bambu. Jumlah sebanyak itu biasanya baru habis dalam 15 hari. Akan tetapi, jika ada event berskala besar dan membutuhkan bambu dalam jumlah banyak, biasanya stok bambu tersebut bisa habis dalam sepekan. ”Kalau pas dapat orderan,ya cepat habis bambunya. Tapi, kalau lagi sepi, ya bisa dua bulan baru habis stok kita,”katanya.

Suami dari Jamilah itu berkata, pada gelaran pilkada tahun ini, usahanya mampu mendulang keuntungan yang cukup besar. Kenaikan penjualan mencapai 50% dari hari biasa, di mana dia hanya bisa menjual 100–200 batang bambu. Ukuran bambu yang dijualnya pun dikhususkan pada batang bambu besar dan memiliki panjang 5–6 meter. Sebelum kenaikan harga BBM yang berdampak pada kenaikan ongkos transportasi, Syahabudin menjual batang bambu pada kisaran Rp1.500–2.000. Namun kini, dia menjual batang bambu dengan harga Rp2.500–3.000/ batang. ”Ya, kita sesuaikan dengan ongkos transportasi yang naik. Tapi, tentu kita juga akan sesuaikan harganya dengan negosiasi dari konsumen,” tukasnya. (iwan setiawan)

foto : iwan setiawan

publikasi : sindo sumsel; selasa 8 juli 2008; halaman 9