31 Oktober 2008

Kredit Konsumtif Disoal

PALEMBANG (SINDO) – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menyoalkan kredit perbankan yang lebih banyak dikucurkan pada sektor konsumtif.

Wakil Ketua Komite Keuangan dan Perbankan Kadin Pusat Rachmad Ali mengatakan, krisis finansial global bermula dari salah urus kredit bank di Amerika Serikat (AS) yang menyebabkan kredit macet. Masalah subprime mortgage (kredit atau pembiayaan perumahan) di AS sudah tampak pada Agustus 2007. Sebenarnya ini sudah diduga akanmenjadi bubble (gelembung), tapi
pemerintah AS terus menggelontorkan dana diikuti dengan penurunan suku bunga. Uang makin banyak, sampai-sampai orang yang tidak mempunyai pekerjaan, penghasilan, atau aset, bisa mendapat pinjaman. Uang yang banyak ini juga memunculkan berbagai kreasi produk keuangan seperti prime atau subprime mortgage (surat berharga untuk membiayai perumahan).

”Cepat atau lambat, orang yang tidak punya penghasilan pasti tidak dapat membayar kembali pinjaman yang diterimanya sehingga terjadilah kredit macet besar-besaran di AS,” ujarnya.

Tidak cukup sampai disitu. Rachmad mengatakan, persoalan lantas menjadi sistemik dan meluas. Hampir semua lembaga keuangan di AS terlibat dalam transaksi yang berujung pada kredit macet tersebut. Aset dan neraca menjadi bolong, ekuitas negatif, dan lembaga pembiayaan perumahan gagal bayar. ”Kalau lembaga pembiayaan perumahan yang besar, seperti Fannie Mac & Freddie Mac serta Lehman Brother saja mengalami gagal bayar, apalagi yang lain. Meski pemerintah AS mengucurkan dana talangan untuk menyelamatkan perusahaan tersebut, tapi Lehman telanjur ambruk diikuti lembaga pembiayaan perumahan lainnya,” katanya.

Hal di atas hanyalah sedikit gambaran betapa pemberian kredit konsumtif sangat berisiko. Apalagi, saat ini perbankan terlihat sangat giat melakukan ekspansi kredit, terutama kredit konsumtif. Rachmad yang juga menjabat Dewan Penasihat Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) ini menjelaskan, apabila kredit dilakukan secara berlebihan, uang giral akan menumpuk sehingga bisa menyebabkan peningkatan inflasi. ”Permasalahan saat ini kebanyakan bank menyalurkan kredit yang digunakan untuk kepentingan konsumtif. Kalau disalurkan untuk usaha produktif sih tidak terlalu masalah,” katanya.

Sementara itu, Direktur Utama Bank Sumsel Asfan Fikri Sanaf mengatakan, pihaknya tidak akan mengubah orientasi kredit tahun ini karena pengucuran kredit tersebut telah direncanakan
sebelumnya dan telah disusun target berjangka. Jadi, untuk mengubahnya sangat sulit dilakukan, apalagi dalam waktu yang singkat. “Bank Indonesia memang meminta perbankan merevisi target kredit untuk mengeliminasi dampak krisis keuangan global, tapi kami tidak akan melakukannya. Kami akan tetap komit menjalankan rencana pengucuran kredit yang telah disusun,” ucapnya.

Asfan menuturkan, tahun ini kredit yang disiapkan Bank Sumsel sebesar Rp3,5 triliun terbagi dalam dua kategori, yaitu kredit konsumtif yang mencapai 60% dan kredit produktif 40%. Dari 40% kredit produktif tersebut, beberapa persen di antaranya dikucurkan pada sektor usaha mikro kecil menengah (UMKM). Menurut Asfan, kredit konsumtif tidak bisa ditinggalkan karena sektor itu merupakan pangsa pasar terbesar Bank Sumsel. “Kami ini bank daerah, jadi kembalinya ke daerah juga. Salah satunya, kami membantu PNS untuk meningkatkan kesejahteraan,” tutur dia. (iwan setiawan)

halaman 22

Perbankan Diminta Fokus

KUCURAN KREDIT UMKM

PALEMBANG (SINDO) – Bank Indonesia (BI) meminta kredit untuk usaha mikro kecil menengah (UMKM) tetap disalurkan perbankan karena sektor usaha tersebut terbukti resistan terhadap krisis ekonomi.

Deputi Gubernur BI Bidang Kebijakan Stabilitas dan Pengaturan Muliaman Darmansyah Hadad mengatakan, UMKM tetap jadi tumpuan perekonomian di saat krisis melanda. Hal itu disebabkan sektor usaha tersebut memiliki daya tahan dibanding industri yang menggunakan bahan impor dalam produksinya. Untuk itu, ujar dia, perbankan mesti fokus pada pembiayaan UMKM. “Terbukti, saat krisis moneter pada 1997, banyak industri bangkrut, tapi justru pelaku UMKM berkibar. Oleh sebab itu, bagi perbankan yang selama ini memandang sebelah mata pelaku UMKM dan mengagungkan nasabah kredit konsumtif, harus mulai reorientasi kebijakan kredit mereka,” ujarnya seusai menghadiri seminar nasional dalam rangka Lustrum FE XI Universitas Sriwijaya di Palembang kemarin.

Meski kondisi krisis keuangan global kian parah dan mulai dirasakan beberapa sektor usaha di Indonesia, Muliaman menegaskan, pembiayaan kredit tetap berjalan. Namun, perbankan harus lebih meningkatkan prinsip kehati-hatian sebelum mengucurkan kredit. Sebab, bank juga harus tetap menjaga dan terus mencari sumber likuiditas mereka. “Meski kita minta kepada bank untuk hati-hati, kredit UMKM tetap harus dijalankan. Selain itu, bank harus mengendalikan likuiditas,” katanya.

Sementara itu, pengamat ekonomi Universitas Sriwijaya Syaipan Djambak menerangkan, upaya antisipasi krisis yang dilakukan adalah dengan melindungi sektor riil. “Bagaimana UMKM mau berkembang kalau bank tampaknya alergi dengan mereka. Pengajuan kredit UMKM di beberapa bank sepertinya sulit sekali, belum lagi diberatkan dengan berbagai syarat serta suku bunga pinjaman yang tinggi. Mulai sekarang, perbankan harus mulai mengubah arah kebijakannya sesuai kondisi krisis yang dihadapi saat ini,” tuturnya. (iwan setiawan)

halaman 22

Pekerja Perkebunan Terancam PHK

PALEMBANG (SINDO) – Ketua Gabungan Pengusaha Perkebunan Sumatera Selatan (GPPSS) Syamsir Syahbana mengatakan, menyikapi perkembangan kondisi harga jual crude palm oil (CPO) yang terus memburuk, perusahaan perkebunan kelapa sawit akan melakukan efisiensi. Setelah mengurangi biaya di luar produksi, alternatif selanjutnya adalah melakukan perampingan struktur organisasi. ”Jika krisis ini terus berlanjut dan harga jual tandan buah segar (TBS) kelapa sawit tak kunjung membaik, maka dampaknya akan sangat buruk. Setidaknya ada sekitar 300.000 pekerja yang berpotensi terancam pemutusan hubungan kerja (PHK),” kata Syamsir dihubungi SINDO kemarin.

Menurut dia, 300.000 pekerja tersebut bekerja pada 131 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang tersebar di Sumsel. Jumlah perusahaan tersebut tergabung dalam 45 grup besar dan berhimpun dalam GPPSS. Syamsir mengungkapkan, keputusan mengenai PHK tersebut merupakan alternatif terakhir yang akan diambil pengusaha.

General Manager PT Pinago Utama itu juga menyebutkan, pihaknya akan menunggu perkembangan hingga semester II/2009 mendatang. Apabila kondisi tetap seperti saat ini, yang mana harga produksi CPO tidak lagi tertutupi harga penjualan, maka opsi untuk merumahkan pekerja perkebunan bisa saja diambil. “Kita optimistis krisis akan pulih dan harga serta pemesanan CPO akan kembali naik. Tapi, bila tidak sesuai dengan harapan, kita harus realistis menghadapi kondisi yang ada,” tuturnya.

Sementara itu, GM Mitra Ogan Pangolio Sitompul mengatakan, saat ini pihaknya belum melakukan hitung-hitungan mengenai efisiensi sumber daya manusia (SDM). Menurut dia, saat ini manajemen lebih fokus pada persoalan produksi yang terus mengalami kerugian. “Kita sekarang fokus bagaimana produksi kita ini bisa berlangsung terus tanpa hambatan,” ujarnya. (iwan setiawan)

halaman 22