04 November 2008

Hasilkan Satu Ton Lele Setiap Panen

DENNY SANG PETERNAK IKAN (BAGIAN-1)


Kesibukan di tambak saat akan memanen ikan sebelum dijual ke pasar di sekitar Palembang.


Usia muda dan orangtua mapan tidak membuat pria satu ini manja terhadap keadaan. Justru, Denny Adrianto, 27, memanfaatkan waktunya dengan beternak ikan.

Denny memulai usahanya sejak 2007 lalu karena sulitnya mendapat pekerjaan. Setamatnya dariUniversitas Sebelas Maret pada 2005 lalu, dia mencoba melamar beberapa pekerjaan menjadi sales kendaraan, properti, hingga kartu kredit. Namun, dewi fortuna belum berpihak pada lelaki yang dikenal pantang menyerah ini. Melihat anaknya kesulitan, sang ayah yang notabene seorang pejabat di sebuah BUMN menawarkan dirinya agar bersedia dititipkan bekerja pada perusahaan rekanan. Bukannya menerima dengan senang hati penawaran yang datang, Denny malah menolak dengan alasan ingin mandiri.

Bosan tanpa ada yang bisa dikerjakan sembari menunggu panggilan dari beberapa perusahaan yang diajukannya lamaran, dia pun terinspirasi membuka usaha. Meminjam modal dari sang ayah, Denny memulai usahanya. Jenis usaha yang dipilihnya pun cukup rumit, peternakan ikan. “Alasan saya memilih jenis usaha ini karena suka sesuatu yang dinilai orang lain sulit dan membutuhkan kesabaran tinggi,” ungkapnya.

Mengambil lokasi di Jalan Pangeran Ayin, Kecamatan Sako, Denny merintis mimpinya menjadi peternak sukses. Di tanah seluas 1.200 m2 itu, ribuan bibit ikan maupun ikan yang sudah siap panen tersebar di lima kolam air tawar. Saat ini, dia hanya memelihara dua jenis ikan, yaitu tembakang dan lele. Denny yang ditemui di sekitar kolam menceritakan, sejak awal pembuatan kolam hingga panen pertama, dia sendiri yang mengurusnya. “Memasang pagar keliling, mengatur saluran air, memberi makanan, dan membersihkan kolam, dilakoni sendiri. Pokoknya terasa banget bagaimana membangun usaha ini dari nol. Makanya, usaha ini akan terus saya pertahankan dan teruskan,” tutur suami IndryaPuspita Dewi ini.

Alumnus Jurusan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta ini menjelaskan, dalam setiap panen, rata-rata tambaknya menghasilkan hingga 10.000 ikan lele dengan berat mencapai 1 ton. Namun, Denny mengungkapkan, usahanya masih dihadapkan pada kendala pemasaran. Sebab, selama ini hasil panen tiap tiga bulan sekali tersebut dijual ke pengumpul. Sementara, untuk menjual secara langsung ke pasar, Denny belum memiliki channel. Memang tambaknya melayani pembelian langsung di tempat atau pesanan dari tetangga sekitar, tapi dia butuh dari sekadar itu untuk membesarkan usahanya. (iwan s/bersambung)

foto : iwan setiawan

publikasi : sindo sumsel; selasa 04 november 2008; halaman 22

Pemerintah Diminta Transparan Atasi Krisis

PALEMBANG (SINDO) – Pengamat ekonomi menilai pemerintah harus transparan dalam menanggulangi krisis global. Hal itu diperlukan untuk menumbuhkan kembali kepercayaan pasar (market confidence) terhadap kondisi Indonesia.

Direktur International Center for Applied Finance and Economics (InterCAFE) Iman Sugema mengatakan, krisis sekarang ini sudah dirasakan sebagian masyarakat Indonesia. Jadi, pemerintah jangan lagi mengeluarkan pernyataan yang berisikan sanggahan seolah-olah Indonesia kuat dan krisis tidak akan melanda Indonesia. “Justru dengan begitu menunjukkan pemerintah tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Karena itu, transparansi sangat dibutuhkan,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Center for Banking Crisis (CBC) Achmad Deni Danuri mengatakan, krisis yang terjadi biasanya diimbangi perang confidence. Menurut Deni, langkah-langkah antisipasi yang diambil pemerintah Indonesia belum memberikan confidence kepada pasar maupun pelaku ekonomi. (iwan setiawan)

halaman 22

Pesanan Solar Industri Turun

PALEMBANG (SINDO) – Berkurangnya aktivitas perusahaan sebagai dampak krisis global membuat pemesanan solar industri (nonsubsidi) mengalami penurunan.

Ketua Gabungan Perusahaan Perkebunan Sumatera Selatan (GPPSS) Syamsir Syahbana mengatakan, dampak yang dirasakan perusahaan perkebunan kelapa sawit dan karet saat ini adalah menurunnya pasokan bahan baku untuk produksi. Sebab, para petani plasma enggan memanen buah sawit karena harga jual tandan buah segar sedang hancur di pasaran. “Akibatnya, pasokan ke perusahaan jauh menurun,” ujarnya kepada SINDO kemarin.

Dampak lebih besar yang dihadapi perusahaan dari anjloknya harga komoditas crude palm oil (CPO) yakni tertahannya produksi pabrik. Hal itu disebabkan biaya produksi tidak tertutupi dengan harga jual. Selain itu, pesanan dari negara importir mengalami penurunan drastis pascakrisis finansial yang melanda dunia. Menurut Syamsir, dengan ditahannya proses produksi, pemesanan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar yang digunakan untuk mesin produksi juga dikurangi. “Untuk solar industri memang mulai dikurangi karena proses produksi pabrik menurun. Mengenai angka resminya, saya belum dapat dari perusahaan-perusahaan anggota kami. Namun, diperkirakan penurunan penggunaan solar industri mencapai 10%–15% per perusahaan,” paparnya.

Sementara itu, Asisten Humas PT Pertamina (Persero) UPms BBM Ritel Region II Roberth MV menerangkan, sejak krisis finansial global merebak, telah terjadi penurunan pemesanan BBM industri. Namun, hingga kini pihaknya belum bisa merilis angka resmi penurunan tersebut karena masih dalam tahap evaluasi. “Kita akui memang terjadi penurunan pemesanan dari industri, tapi tidak banyak. Kan mereka mengurangi, bukan berhenti produksi, jadi ya tetap butuh solar industri,” tuturnya. (iwan setiawan)

halaman 22