30 November 2007

Kekayaan Sejarah Itu Masih Bisa Dinikmati

dokumen dan naskah kuno yang tersimpan di lemari

Mushaf Alquran berusia 250 tahun tersimpan rapi di sebuah lemari kaca di rumah Kemas H Andi Syarifuddin. Kitab suci tersebut bersampulkulit kerbau yang dilapisi emas 18 karat.

Alquran itu hanya satu dari sekian dokumen dan naskah kuno Palembang yang tetap dijaga oleh Andi di kediamannya, Jalan Faqih Jalaluddin No.105 RT 7 19 Ilir Palembang. Bagi dia, menjaga dan merawat dokumen kuno dan kitab suci Alquran yang diwariskan keluarga secara turun temurun harus dijalankan sebagai bentuk tanggung jawab terhadap keluarga dan masyarakat. Naskah-naskah kuno peninggalan zaman Kesultanan Palembang Darussalam yang berusia ratusan tahun kini tersebar di beberapa tempat. Di kediaman Kemas H Andi Syarifuddin, masyarakat dapat melihat secara langsung dokumen-dokumen itu. Di rumah itu terdapat sekitar 80 judul buku dan dokumen hasil tulisan tangan para ulama dan pujangga yang hidup pada masa pemerintahan sultan yang pernah memimpin Kesultanan Palembang Darussalam. Di samping berisikan pelajaran mengenai agama Islam seperti fiqih, tasawuf, dan hadist, diantara dokumen dan buku kuno itu terdapat pula beberapa catatan sejarah mengenai Palembang.

Ketertarikan Andi Syarifuddin kepada dokumen dan naskah kuno bermula kala ia masih kuliah di IAIN Raden Fatah dan mempelajari mata kuliah sejarah Islam. Secara tidak sengaja ketika membersihkan ruang atas (loteng) rumahnya, ia menemukan dokumen dan naskah kuno yang tersimpan di dalam peti peninggalan kakeknya. Ketika menyadari bahwa dokumen dan naskah yang ditemukannya itu memiliki arti yang penting, maka ia menurunkan dokumen itu dan membersihkan serta merawatnya hingga kini. Di antara sekian banyak koleksi yang ada, terdapat sebuah kitab Alquran berkulitkan emas 18 karat yang diperkirakan berusia 250 tahun.

Berdasarkan cerita dari sang kakek (Alm) Kyai Kemas H Umar, Alquran tersebut dibuat pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamuddin. Saat ini kitab suci agama Islam itu dalam kondisi rusak termakan usia. Selain kitab Alquran berkulitkan emas, menurut bapak dua putri itu ada satu buku yang berarti khusus baginya yaitu sebuah buku tasawuf karangan ulama besar Palembang yaitu Syekh Abdul Somad Al Palembani. Buku itu sangat langka karena ditulis langsung sang ulama. Perawatan yang dilakukan terhadap kitab dan dokumen kuno itu diakui Andi masih menggunakan metode tradisional. Setiap bulannya, kitab dan dokumen dikeluarkan dari lemari, dan dibuka satu persatu. Jika ditemukan debu yang menempel maka dibersihkan dengan sangat hati-hati karena kertasnya sangat sensitif. Selain itu dalam lemari kayu penyimpanannya diberi kamper untuk menghindari dokumen dan kitab kuno itu dimakan rayap. Bahkan untuk menghindari kerusakan yang lebih parah, kini kitab dan dokumen itu tidak pernah dipakai lagi dan hanya dikeluarkan pada saat-saat tertentu saja.

Andi menunjukkan sampul Alquran berlapis emas yang lapuk termakan usia

Andi bercerita, bahwa rumahnya sering didatangi oleh peneliti sejarah baik dari dalam hingga luar negeri. Para peneliti itu tertarik untuk menelusuri jejak sejarah dunia yang salah satunya terkait dengan kerajaan Sriwijaya dan juga Kesultanan Palembang Darussalam. Peneliti dari Jepang, Belanda, Australia, dan beberapa organisasi kebudayaan internasional yang pernah mendatangi rumah yang terletak di seberang Masjid Agung Palembang itu, berharap dapat merangkaikan berbagai dokumen sejarah dunia yang masih dapat ditemukan. “Seingat saya tahun 2001 lalu peneliti dari Universitas Indonesia juga datang dan meneliti dokumen dan kitab yang ada di saya untuk selanjutnya mereka jadikan sebuah buku katalog,” ungkap salah satu pengurus di Yayasan Masjid Agung Palembang itu.

Kitab, dokumen dan naskah kuno yang dirawatnya itu pernah didata oleh pemerintah melalui kantor arsip daerah. Bahkan, pemerintah pernah meminta padanya untuk menyerahkan dokumen tersebut untuk selanjutnya akan disimpan di museum.Namun, hal itu ditolaknya dengan alasan dokumen, kitab, dan naskah kuno itu merupakan warisan keluarga yang harus tetap berada di lingkungan keluarga besarnya. Apalagi, ia menganggap kinerja pemerintah dalam menjaga aset-aset sejarah masih kurang. “Saya tidak mau nanti jika dokumen berada di tangan pemerintah, dokumen itu malah disimpan tanpa dirawat, bahkan yang paling saya takutkan adalah dokumen itu akan hilang,”ujarnya. (cr 03)

foto : iwan setiawan

publikasi : sindo sumsel; jumat 30 november 2007; halaman 9

29 November 2007

Sumpah Jabatan

Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Kota Palembang Zailani UD diambil sumpah jabatan oleh Sekda Kota Palembang Marwan Hasmen dalam acara pelantikan, di Ruang Rapat I Sekda Kota Palembang, kemarin. Pelantikan ini dihadiri unsur Muspida Kota Palembang.

publikasi : sindo sumsel; kamis 29 november 2007; halaman 11  

23 November 2007

Berjalan Tertatih di Tengah Badai Narkoba

Ketua Yayasan Al Ichlas Ali Nangcik dan para pasien

Masa depan yang gelap dan suram menghantui para pecandu narkoba yang gemar menggunakan zat adiktif itu. Namun, jalan terang tetap menunggu bagi yang ingin sembuh.

Mereka yang tergoda mencoba narkoba bisa jadi adalah orang yang gagal dalam hidup. Karena, kehidupan selanjutnya menjadi sia-sia saat terbelenggu barang jahanam itu. Sudah banyak kasus, gara-gara narkoba jadi sengsara, bahkan sanak saudara dan keluarga turut menderita.

Berawal dari keprihatinan melihat semakin banyaknya para pengguna narkoba, Ali Nangcik, 47, merasa terpanggil hatinya untuk mencurahkan kemampuan yang dimilikinya untuk menyembuhkan para pecandu narkoba. “Waktu muda dulu saya ini orangnya seneng pergi ke mana–mana. Tapi satu yang saya lihat, di tiap tempat yang saya singgahi kok persoalan yang dihadapi masyarakatnya sama, yaitu banyak yang suka mabuk–mabukan, baik itu minuman keras ataupun narkoba. Dari situlah saya berpikir untuk mencoba mengubah perilaku menyimpang masyarakat itu, ya tentunya untuk skala yang kecil dululah,”kata Ali.

Untuk mewujudkan keinginannya itu, pada 14 September 1989, Ali mendirikan sebuah yayasan rehabilitasi mental dan narkoba yang diberinya nama Yayasan Al Ichlas. Dengan dukungan yang datang dari keluarga dan teman–temannya, yayasan itu mulai menerima pasien yang merupakan para pengguna narkoba yang rata–rata telah masuk kategori berat. Selain itu, yayasan juga menerima orang-orang yang mengalami gangguan mental yang berat. “Biasanya yang masuk ke sini, yang telah memasuki stadium lanjut. Bisa dibilang yang sudah masuk tahapan merusak. Selain itu keluarga mereka sudah tidak sanggup lagi mengurus mereka sehingga menitipkan disini, dengan harapan mereka bisa disembuhkan dan menjalani hidup normal kembali,”ujarnya.

Niat tulus bapak 9 orang anak ini bukannya tanpa masalah. Salah seorang pasiennya pernah meninggal pada saat menjalani rehabilitasi, namun bukan karena kesalahan yang dilakukan oleh para terapis, tapi karena memang kondisi pasien sudah sangat mengenaskan akibat pengaruh narkoba yang dipakainya. Ali sebagai pemilik yayasan sempat mendapat tuntutan dari keluarga pasien itu. Oleh karenanya atas saran dari teman–temannya, maka pada tahun 2000 lalu Yayasan Rehabilitasi Mental dan Narkoba Al Ichlas yang beralamat di jalan Sukabangun II Km 6 Soak Simpur Palembang, didaftarkan pada Departemen Sosial dan resmi memiliki badan hukum.
Ali yang mengaku hanya tamatan SD ini mengatakan, kalau kemampuannya menyembuhkan orang mulai dirasakannya sejak mengikuti pengajian Amanat Keagungan Ilahi. “Tahun 1983 saya mengikuti pengajian AKI, nah sejak itu pula saya berkeyakinan ilmu dan amalan yang saya dapatkan harus dapat saya gunakan untuk kemaslahatan umat,”ungkap suami dari Ani, 40, itu.

Pasien bersama pengawas tengah makan siang seusai bekerja di tambak ikan

Saat ini jumlah pasien yang adadi penampungan rehabilitasi Yayasan Al Ichlas berjumlah 84 orang, yang 5 diantaranya adalah perempuan. Rentang usia pasien yang tengah menjalani proses penyembuhan adalah 12 hingga 70 tahun. Dari 84 orang pasien tersebut, mereka dimasukkan ke dalam 5 ruangan mirip sel, dengan kapasitas ideal hanya untuk menampung 40 orang. Kekurangan daya tampung itu tengah diusahakan penambahannya oleh yayasan. Namun karena keterbatasan yang dimiliki yayasan, untuk sementara penambahan ruangan itu baru sebatas mendirikan dinding ruangan. Dalam terapi yang dilakukannya, Ali menerapkan prinsip dasar yang harus dilakukan pasiennya yaitu mengingat dan selalu mengucapkan 2 kalimat syahadat. Karena menurut pandangan Ali, jika seseorang dalam kondisi apapun masih mengingat Allah, maka harapan mengenai kemungkinan terbaik masih ada. Ali mengaku, selama ini kelangsungan hidup yayasan ditanggung sendiri oleh dirinya selaku pengelola yayasan. Sejak mendirikan yayasan ini, Ali menerapkan aturan yang cukup unik yaitu, apa yang dimakan keluarganya itu juga yang dimakan oleh para pasien. Dengan pendekatan kekeluargaan yang dilakukan seperti itu, Ali berharap para pasien dapat lebih mudah menerima terapi yang dilakukan oleh staf yayasan. Selain mengandalkan usaha yang dilakukan bersama–sama para pasien, Ali mengungkapkan pihak yayasan terus berupaya mencari donasi. (cr 03)

foto : iwan setiawan

publikasi : sindo sumsel; jumat 23 november 2007; halaman 9

10 November 2007

Tunjangan Veteran Masih Tak Menentu

REFLEKSI HARI PAHLAWAN



Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Namun, kata-kata bijak itu belum sepenuhnya dirasakan pejuang di Kota Palembang.



Salah satunya adalah Kgs Abdul Somad Mustofa. Kehidupan veteran perang kemerdekaan dengan pangkat terakhir mayor ini jauh dari kesan sejahtera dan tidak sebanding dengan jasa-jasa dan pengorbanan yang telah diberikannya untuk merebut kemerdekaan Republik ini. Abdul Somad tidak sendirian. Kakek 12 cucu ini merupakan sebuah gambaran umum betapa masih kurangnya perhatian pemerintah terhadap para veteran dan pahlawan ini.

Setiap 10 November bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Namun, di kalangan generasi muda saat ini arti pahlawan dan pejuang seolah tidak ada makna sama sekali. Mereka merasa tidak peduli mengenai siapa yang berjuang untuk melepaskan bangsa ini dari cengkeraman penjajah. Oleh karenanya, penghormatan yang selayaknya diberikan kepada para pahlawan itu tidak ada sama sekali. Hal itu sangat dirasakan Kgs Abdul Somad Mustofa, 79, seorang veteran pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang saat ini tinggal di rumah sederhananya di Jalan Pedang, Kompleks YPP No 47 RT 06/02 Kel 20 Ilir D II, Kec Kemuning. Menurut Somad, sebenarnya pada waktu para pejuang maju ke medan perang mempertaruhkan jiwa dan raga untuk merebut kemerdekaan Indonesia, mereka tidak pernah mengharapkan balasan apapun. Namun, dia berharap generasi muda dan pemerintah saat ini menghargai apa yang telah mereka raih dahulu. ”Waktu berjuang dulu kami merasa itu sebuah kewajiban dan ikhlas menjalaninya. Dak pernah kami betanyo apo imbalannyo kalau Belanda pacak kami usir. Tapi jingoklah sekarang, apo yang telah diupayoke para pejuang dulu, pecaknyo sia-sia,” ucapnya.

Bapak tujuh anak yang ditetapkan sebagai veteran pejuang kemerdekaan Republik Indonesia oleh Panglima TNI LB Moerdani pada 26 Desember 1992 ini mengaku, perhatian yang diberikan pemerintah kepada para veteran pejuang masih dirasakan kurang merata. Banyak para pejuang yang tidak memiliki pengakuan dari pemerintah mengenai kepahlawanannya.

Bahkan, bantuan yang diberikan pemerintah masih belum dapat dirasakan seluruh pejuang. Pendapatan yang berasal dari uang pensiunan sekitar Rp1 juta dan tunjangan veteran sebesar Rp400.000 per bulan, dinilainya tidak sebanding dengan apa yang diperoleh para pejabat saat ini yang bisa mendapatkan 10 kali lipat. Padahal, jasa mereka kepada negara belum terbukti. ”Jangankan memberikan perhatian berupa insentif atau dana bantuan secara rutin, mengundang kami untuk hadir di peringatan hari-hari besar nasional pun sangat jarang dilakukan. Itu kan membuktikan bahwa pemerintah belum sepenuhnya memerhatikan kami,” ujarnya.

Somad mengisahkan, pada saat dirinya terlibat dalam perang di area Sumsel dalam kurun waktu
1945–1949, berbagai kisah suka duka dialaminya. Pada saat terjadi Agresi Militer I Belanda tahun 1947, dia bersama rekan-rekannya yang tergabung dalam Kompi 1 Resimen 17 di Kertapati, sesuai hasil perundingan dengan Belanda diharuskan mundur sejauh 20 km dan bergabung dengan Front Payakabung. Setelah berhasil memukul Belanda pada agresi pertamanya, maka pada saat Belanda datang kembali dan melancarkan agresi kedua, Resimen 17 tidak mampu membendung kemarahan tentara Belanda yang menguasai Palembang. Hal itu membuat Resimen 17 ditinggalkan anggotanya, dan beberapa anggota Resimen 17, termasuk Somad, bergabung dengan pasukan Harimau Selatan di bawah pimpinan Mayor Yahya Bahar.

Purnawirawan perwira yang terakhir bertugas di Pusat Angkutan (Pusang) Angkatan Darat ini mengharapkan agar pemerintah lebih memerhatikan nasib para pejuang dan veteran perang kemerdekaan. Sebab, menurutnya jumlah veteran dan pejuang yang ada saat ini hanya sebagian kecil dari 220 juta lebih jumlah penduduk Indonesia, dan tidak akan pernah bertambah. ”Jumlah kami ini kan tidak sebanyak PNS atau tentara yang aktif. Bahkan, dalam hitungan lima tahun ke depan, mungkin jumlah veteran perang kemerdekaan bisa dihitung pakai jari,” ungkapnya penuh harap. (CR-03)

foto : iwan setiawan

publikasi : sindo sumsel; sabtu 10 november 2007; halaman 1