24 Juli 2008

Putra Sumatera Selatan Pertama Pimpin Freeport

ARMANDO MAHLER, PRESIDEN DIREKTUR DAN CEO PT FREEPORT INDONESIA

Salah satu putra daerah Sumatera Selatan berhasil menjadi Presiden Direktur dan CEO PT Freeport Indonesia sejak 2006. Lulusan Teknik Tambang Universitas Sriwijaya ini merintis karier dari level terendah di pertambangan emas terbesar di dunia.

Dalam beberapa kesempatan, Armando Mahler kembali ke Sumsel, baik sebagai top leader Freeport maupun pribadi. Khusus kepada pembaca SINDO, Armando menceritakan sedikit pengalamannya selama jauh dari kampung halaman di Kayu Agung, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).

Berikut wawancara khusus wartawan SINDO Sumsel Aina Rumiyati Aziz dan Iwan Setiawan dalam sebuah kesempatan.

Awalnya banyak yang meragukan keputusan Anda bekerja di PT Freeport Indonesia (Papua). Apa yang memantapkan hati Anda untuk mengambil kesempatan itu?

Seperti halnya alumni pertambangan lainnya, setelah lulus, saya mengajukan ke Dinas Pertambangan. Tetapi setelah menunggu selama enam bulan, kok tidak dipanggil-panggil. Nah, saat itu saya membaca di sebuah koran nasional adanya lowongan PT Freeport Indonesia dan saya coba mengirimkan lamaran. Dari situlah teman-teman bilang ngapain pergi ke ujung dunia. Kata mereka, saya cari mati kalau benar berangkat. Tapi itu tidak menyurutkan niat saya, karena saya pikir orang pertambangan larinya harus ke pertambangan.

Bagaimana perasaan Anda saat pertama kali tiba di Papua?

Alhamdulillah, meski saya sarjana pertama dari Sumsel yang memilih ke Papua, banyak pekerja Freeport yang berasal dari Sumsel. Bahkan di sana ada kerukunan keluarga Sriwijaya (KKS), dan itu cukup untuk menghilangkan rasa kangen akan kampung halaman.

Kabarnya, sempat mengeluhkan pekerjaan yang dipilih sendiri, mengapa?

Ya, memang saya akui kondisi itu sempat terjadi. Sebab, bayangan kita dulu kan kerja sarjana tambang pasti wah, terutama yang bekerja di Pertamina. Tapi kondisi sebaliknya justru saya alami saat tiba di Papua. Pikiran saya waktu itu, kok masuk di dunia pertambangan malah jadi kuli. Selama dua tahun, saya harus menjalani training dan digembleng mulai dari pikul alat, angkut eksplosif (bahan peledak), bor, dan macam-macam. Bahkan waktu itu saya sempat terlintas untuk pulang karena nggak kuat. Tapi saya kuatkan hati untuk terus menjalani apa yang sudah saya pilih. Akhirnya saya memahami bahwa dibalik setiap peristiwa ada hikmah. Setelah memasuki tahun ke-5 kita di-assign, baru terasa yang sebenarnya sedang diajarkan trainer selama dua tahun pertama bergabung di Freeport.

Hikmah apa yang bisa diambil selama pelatihan berlangsung?

Saya jadi lebih memahami kondisi suatu pekerjaan dan itu sangat bermanfaat ketika diberikan tanggung jawab membawahi pekerjaan. Jadi, singkatnya saya tidak bisa dibohongi staf, karena tahu apa yang mereka kerjakan. Selain itu, selama dua tahun saya berhasil mendapatkan 70 license (izin) operasional peralatan pertambangan. Kesulitan untuk mendapatkan license itu sangat tinggi karena kita harus training alat dalam waktu sekian jam, selanjutnya dites. Kalau lulus, barulah dikasih license-nya. Sebenarnya, masih banyak peralatan yang harus dimiliki license-nya, tapi jumlah 70 license itu sudah bisa dibilang menguasai teknis operasional semua peralatan pertambangan di Freeport.

Apa pengalaman kerja di Freeport yang mengubah kehidupan Anda?

Setelah dua tahun lebih bekerja dan naik jabatan menjadi supervisor, saya punya tanggung jawab kian berat. Namun, hingga tujuh tahun menjabat, saya tidak juga naik. Saya tahu perusahaan tidak mempromosikan karena menilai tingkah laku saya masih jelek. Saya ini orangnya temperamental. Bahkan saya pernah memukul pegawai karena hampir memukul supervisor. Lantas saya diskorsing selama hampir dua bulan. Selama satu bulan masa skorsing, saya mendapatkan nasihat dari atasan agar mengubah perilaku. Atasan saya itu menasihati bahwa 80% perubahan perilaku ditentukan oleh diri kita sendiri, sedangkan sisanya dari orang lain. Dia menyarankan saya untuk selalu berpikir dulu sebelum bertindak.

Tampaknya Anda tipe orang yang tidak puas atas satu keberhasilan dan ingin terus mempelajari dan menguasai sesuatu yang baru?

Kalau ingin berhasil, ya harus seperti itu. Jangan mudah puas dan terus belajar mengenai sesuatu ilmu dan pengetahuan yang belum kita kuasai. Belajarnya pun tidak harus selalu dengan orang yang levelnya di atas kita. Ini merupakan kelemahan para sarjana kita yang tidak mau belajar dari orang-orang yang berada di bawahnya. Justru saya banyak berguru kepada pegawai nonstaf karena pengalaman mereka lebih banyak dalam menyelesaikan persoalan di lapangan.

Jadi Anda menyinergikan teknologi dan pengalaman?

Di dunia pertambangan, kedua hal itu sangat penting artinya. Teknologi dibutuhkan untuk menentukan titik koordinat kandungan bijih yang akan dieksplorasi. Akan tetapi, pengalaman dan insting saat kita berada di lapangan sedikit berbeda dari panduan yang dikeluarkan komputer. Pernah saat saya magang di Pemala, ada orang yang buta huruf dan tingkat pendidikannya rendah. Tetapi dia tahu posisi nikel yang memiliki grade tinggi. Bahkan, seingat saya dulu justru ada doktor geologi yang belajar dari dia. Jadi, semakin kita dekat dengan alam, alam akan bersahabat dengan kita.

Selama 25 tahun bergabung di Freeport, apa yang paling berkesan selain diangkat menjadi presiden direktur?

Yang paling berkesan adalah ketika dipercaya bekerja di lokasi pertambangan baru Freeport, yaitu di Grasberg pada 1988. Setelah membangun jalan, membersihkan lokasi, dan melakukan drilling and blasting, akhirnya pada 1989 kita sudah bisa operasi penambangan. Meski umurnya sudah mau habis pada 2015 mendatang, saya masih bercita-cita tetap berada di Grasberg hingga ditutup untuk membuat rekor. Saya patut berbangga karena jarang sekali di Indonesia ini ada orang yang mendapat kesempatan menambang mulai dari nol hingga menjadi lokasi tambang kelas dunia.

Lantas bagaimana Anda menjalankan keselarasan antara operasional pertambangan dan lingkungan?

Mungkin masyarakat di luar Papua tidak percaya bahwa Freeport dalam menjalankan usaha pertambangannya sangat memerhatikan lingkungan sekitar. Orang di luar pertambangan menganggap pembukaan tambang Grasberg telah menggunduli hutan di gunung tersebut dan Freeport telah melakukan pembalakan terhadap pepohonan di sekitar tambang. Ini yang tidak pernah terekspos ke masyarakat. Justru keadaan sebaliknya berlaku di Papua. Kita telah menanam lebih kurang 2,5 juta pohon dari berbagai jenis seperti estuari, matoa, sagu, dan bintangor. Selain itu, perlu saya luruskan bahwa di Grasberg tidak ada kayu gelondongan yang ditebang karena memang di gunung itu hanya terdapat rumput dan tanaman pakis gunung. Oleh sebab itu gunung tempat penambangan diberi nama Grasberg yang artinya “gunung rumput” dalam bahasa Belanda.

Selain kegiatan reboisasi itu, untuk apalagi dana Community Development (CD) Freeport dan untuk 2008 ini berapa besarannya?

Untuk 2007, kita keluarkan Rp 971 miliar naik dari 2006 yang hanya Rp 600 miliar. Pada 2008 belum kita rekapitulasi karena masih terus berjalan berbagai pembangunan untuk masyarakat. Soal alokasi itu, dananya untuk program pendidikan, pelayanan kesehatan, pembangunan fasilitas umum, pembangunan ekonomi kerakyatan, lembaga adat, dan lembaga keagamaan. Bahkan kita punya departemen khusus untuk mengurus persoalan penyaluran CD. Saat ini kita sedang selesaikan pembangunan bandar udara di tengah gunung. Tepatnya di daerah Singa untuk mempermudah akses transportasi masyarakat yang tinggal di pegunungan. Selain itu, kita telah dan masih membangun rumah sehat sederhana yang diserahkan kepada masyarakat secara gratis. Meski untuk membangun rumah dengan tipe 54 dan 70, Freeport harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 500 juta per unit.

Rp 500 juta untuk satu unit rumah tipe 70?

Iya, Anda nggak percaya kan? Soalnya perumahan yang kita bangun itu berada di pegunungan yang belum memiliki akses jalan darat yang bisa dilewati truk pengangkut material. Jadinya, material bangunan untuk mendirikan rumah tersebut dibawa dengan helikopter. Sampai sekarang sudah 2.000 unit rumah lebih yang kita bangun. Meski mahal, Freeport tetap berkomitmen untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat terutama yang berada di sekitar tambang.

Meski Freeport memberikan sumbangan besar bagi negara melalui pajak, royalti, dan dividen, mengapa tidak lantas membuat semua pihak puas?

Memang pada 2007 lalu, Freeport membayar kepada pemerintah senilai hampir USD 1,8 miliar atau sekitar Rp17 triliun. Namun memasuki 2008 ini, angka produksi tembaga, emas, dan perak, lebih kecil dibanding 2007.

Bagaimana menyikapi keinginan pembubaran Freeport?

Kita perlu melihatnya secara jernih. Sebab, apakah itu murni dari keinginan masyarakat atau ada keinginan pihak ketiga yang tujuannya mengambil keuntungan. Indonesia ini sangat kaya akan sumber daya alam tapi kemana para pengusaha lokal? Mengapa mereka nggak mau terjun ke bidang pertambangan? Yang lebih kita sesalkan ketika ada pihak yang sudah belanja, kemudian memasak dan siap memakan eh tiba-tiba ada pihak lain menyerobot. Maka itu desakan tersebut kita tanggapi dingin saja.

Bagaimana perasaannya membawahi 20.000 karyawan?

Pegawai kita saat ini sudah hampir 21.000 orang. Lebih kurang 35% di antaranya merupakan karyawan dari lokal Papua. Sementara karyawan PT Freeport hampir mencapai 11.000 orang dan sisanya merupakan karyawan kontrak. (*)

BIODATA

Nama : Armando Mahler
Tempat, Tanggal Lahir : Palembang, 3 Maret 1955
Istri : Fanny Mahler
Anak : Tiga orang putri
Pendidikan : - Teknik Tambang Universitas Sriwijaya lulus 1982
- SMPP 26
- SMP Advent
- SD Xaverius 4

Pekerjaan
> November 2006–sekarang : Presdir dan CEO PT Freeport Indonesia
> Juli 2006–November 2006 : Presdir dan GM PT Freeport Indonesia
> 6 Februari 2006–Juni 2006 : Deputi Presdir PT Freeport Indonesia
> September 2004–Februari 2006 : EVP dan GM PT Freeport Indonesia
> Februari 2002–September 2004 : VP Grasberg Mine Service PT Freeport Indonesia
> July 1983–Januari 2002 : Manager Grasberg Tambang Terbuka PT Freeport Indonesia