23 Februari 2009

Cari Makan dan Uang Tambahan

BEKARANG DI DUSUN II, DESA IBUL BESAR (2–HABIS)

Warga bersemangat berburu ikan, udang, dan belut di rawa yang berada di pinggir Jalan Lingkar Selatan Palembang.

Anak-anak warga Dusun II Desa Ibul Besar, menunjukkan hasil buruannya berupa udang dan ikan.

Matahari telah condong ke arah barat dan sebentar lagi kegelapan akan menyelimuti bumi. Namun anak-anak yang melakukan bekarang tak terlihat lelah. Padahal, sudah lebih lima jam mereka berendam di rawa dan bermandikan lumpur. Puluhan warga Dusun II, Desa Ibul Besar, Kecamatan Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir tersebut dengan teliti menelusuri tiap sisi rawa. Jengkal demi jengkal rawa mereka jelajahi, lubang demi lubang yang ada di dalam rawa dibongkar untuk menemukan buruan mereka. Bahkan, terkadang aksi warga ketika mengejar buruannya yang lepas mengundang gelak tawa warga yang lain. Pasalnya, ada saja yang terjatuh atau terperosok ke dalam rawa dan muncul dengan berlumuran lumpur mulai di wajah hingga sekujur tubuhnya.

Entah berapa kilogram udang dan ikan yang berhasil dikumpulkan warga. Namun jika satu orang rata-rata bisa menangkap 10-20 ekor udang, dengan berat minimal satu ekor 150 gram, maka diperkirakan udang yang terkumpul bisa mencapai 75 kilogram. Angka yang kecil memang jika dibandingkan dengan jumlah panen yang diproduksi pengusaha tambak udang. Namun jika melihat lokasi penangkapan maupun cara yang digunakan, maka Anda akan menggeleng gelengkan kepala sambil berdesis kagum.

Manto, seorang warga di sekitar rawa yang sehari-harinya mencari nafkah sebagai penarik ojek, juga menyempatkan diri untuk ikut dalam kegiatan bekarang ini. Menurut bapak dua anak ini, kegiatan seperti ini sudah sering ia lakukan. Bahkan ia rela meninggalkan sementara pekerjaannya untuk ikut bekarang. Pasalnya, dengan bekarang ini, selain bisa mendapatkan lauk tambahan untuk makan keluarganya, ia pun bisa memperoleh uang tambahan dengan menjual sebagian hasil tangkapannya. “Air surut disini kan paling sehari dua hari, ya dak papo ninggalke gawean karena di sini juga bisa ngasilke duit kalau dapatnya banyak,” tuturnya.

Menurut Manto, kalau di daerah pedesaan, kegiatan bekarang diikuti dengan prosesi makan bersama di sekitar sungai kecil, rawa, atau lebung, yang dijadikan lokasi bekarang. Hal itu sangat terasa dalam mewujudkan persatuan dan kebersamaan antar warga di desa. Namun karena lokasi bekarang mereka ini lebih dekat ke kota, dimana masyarakatnya lebih cenderung melakukan segala sesuatunya dengan praktis, maka tradisi tersebut tidak sepenuhnya diadopsi. “Paling yang beda dengan di dusun yo dak katek makan bersama hasil tangkapan itu. Kalau disini, habis nangkap yo digawak balek, dan dimasak di rumah masing-masing,” terangnya.

Kalaupun hasil tangkapan ada yang berlebih, maka akan dijual kepada warga lain yang hendak membeli. Tentu saja harganya tidak sama dengan harga pasaran. Jika saat ini udang galah ukuran sedang bisa mencapai Rp 60.000 per kilogram dengan isi per kg 10 hingga 12 ekor udang. Maka jika ada yang berminat membeli hasil tangkapan para peserta bekarang ini, hanya perlu menyediakan uang antara Rp 3.000-Rp 5.000 untuk membeli satu ekor udang. Pasalnya di lokasi tidak tersedia timbangan seperti di pasar. “Sebenarnya idak berniat menjual hasil tangkapan ini. Tapi pas naik ke darat ada saja orang yang melintas dan nak beli udang tangkapan ini, yo jadilah tawar menawar. Kalau untuk di rumah 10 ekor udang bae sudah cukup, sisanya mendingan dijadiin duit, kan bisa buat beli beras dan jajan anak-anak,” ucap Manto yang mengaku hari itu mendapatkan 32 ekor udang dan 5 ikan betok. (iwan setiawan)

foto : iwan setiawan

Tidak ada komentar: