02 September 2011

Olahraga Bukan Ajang Bisnis

Terbilang sukses sebagai pebisnis, namun sosok Muddai Madang lebih dikenal sebagai tokoh olahraga. Terlebih Sumsel sedang menjadi sorotan karena dipercaya sebagai tuan rumah pelaksanaan SEA Games XXVI bersama DKI Jakarta. Tak ayal, hampir setiap hari komentar Ketua Umum KONI Sumsel ini menghiasi media massa lokal di Sumsel maupun terbitan Jakarta.

Lantas, apa suka dan duka selama terlibat dalam dunia olahraga di Palembang, Sumsel. Berikut petikan wawancara Ketua Umum KONI Sumsel Muddai Madang dengan reporter Seputar Indonesia Iwan Setiawan yang dilakukan di Palembang, akhir pekan lalu.

Bagaimana awalnya Anda bersentuhan dengan dunia olahraga?

Berbicara olahraga memang hobi saya sejak kecil. Bahkan hingga beranjak remaja saya bergabung dalam paguyuban olahraga. Menjelang dewasa karena kesibukan kerja dan berbagai hal lainnya membuat kegiatan (olahraga) itu vakum. Tapi setelah bekerja kemudian tahun 1984-1985 ikut mengurusi klub sepak bola Galatama yaitu Kramayudha Tiga Berlian. Kemudian tahun 1990-an mulai aktif di beberapa cabang olahraga (cabor) dan awal tahun 2000 saya menjadi salah satu ketua di PB Percasi sekaligus merangkap bendahara di bawah kepemimpinan bapak Edi Widiono. Selanjutnya saya menjadi Chef de Mission(CDM) Indonesia pada Olimpiade Catur di Torino, Italia, tahun 2006. Kemudian di tahun 2006 itu juga saya dipercaya menjadi tim manajer catur untuk Asian Games di Doha, Qatar. Lalu tahun 2009 saya diberikan mandat oleh Gubernur Sumsel Alex Noerdin untuk mengurusi olahraga di Sumsel menjadi Ketua Umum KONI Sumsel.

Dunia olahraga terkait erat dengan pengusaha dan dunia usaha. Bagaimana Anda menilainya?

Ah nggak juga. Menurut saya olahraga merupakan sesuatu yang terpisah dengan bisnis. Cuma biasanya kita dari kalangan swasta sering diminta untuk berpartisipasi dalam pembinaan olahraga, biasanya seperti itu. Apalagi sekarang memang para pengurus lembaga atau organisasi olahraga cenderung diberikan kepada swasta. Harus diakui mengurus olahraga ini dibutuhkan pendanaan yang lumayan besar. Sehingga yang paling memungkinkan itu adalah diambil dari kalangan pengusaha. Karena kalau diambil dari PNS atau pekerja kan agak sulit karena butuh pendanaan.

Jadi idealnya seperti apa?

Sebetulnya kalau di-manage dengan baik, pembinaan olahraga tidak perlu mengeluarkan dana yang besar. Seperti Sumsel, dimana Gubernurnya sangat konsen dengan pengembangan dan kemajuan olahraga. Terbukti kita menjadi tuan rumah gelaran SEA Games XXVI. Bahkan kita sudah memiliki satu program di KONI Sumsel yaitu High Performance Program (HPP). Program itu sendiri menaungi sekitar 120 atlet yang diharapkan bisa berprestasi baik dimasa depan. Untuk itu Pemda menunjukkan keseriusan dengan mengucurkan dana yang jumlahnya lumayan besar. Karena melaksanakan pemusatan latihan ratusan atlet dimana harus menanggung biaya konsumsi, akomodasi dan transportasi serta honor dan peralatan pendukung butuh biaya besar. Itu membuktikan Pemprov Sumsel konsen dan berkomitmen tinggi terhadap kemajuan olahraga di Sumsel.

Ketika dipercaya menjadi Ketua Umum KONI Sumsel, apa yang terlintas dalam pemikiran Anda saat itu?

Saya nggak pernah kepikiran menjadi Ketua Umum KONI Sumsel. Artinya kita hidup ini mengalir saja.

Bagaimana setelah menduduki posisi Ketua Umum KONI Sumsel?

Alhamdulillah saya enjoy mengurusi olahraga ini. Apalagi pemerintah sangat memerhatikan sehingga secara finansial saya tidak terlalu banyak mengeluarkan subsidi.

Masuk KONI Sumsel awal tahun 2009 sebagai PAW (pergantian antar waktu). Bagaimana kondisi saat itu?

Saya melihat KONI dulu itu meski punya dasar program yang baik tapi agak tumpang tindih satu dengan lain. Meski dilakukan pembenahan, tapi apa yang dilakukan sekarang juga banyak melanjutkan program dulu dan bukan berarti dirubah keseluruhan. Sebab pemimpin yang satu dengan yang lain tentu punya selera dan gaya yang berbeda kan. Tapi yang prinsip hampir samalah. Cuma caranya saja, mungkin ada yang suka belok sana sini dulu sebelum sampai tujuan dan ada yang suka langsung tembak lurus saja. (*)

Klub Profesional Sangat Tergantung Dana

Sebagai mantan pengurus klub profesional Kramayudha Tiga Berlian dan sekarang menduduki posisi Komisaris Utama PT Sriwijaya Optimis Mandiri yang mengelola Sriwijaya FC. Pengalaman apa yang Anda terapkan agar SFC eksis sebagai klub papan atas Indonesia?

Bicara sepak bola profesional yang paling menentukan adalah pendanaan. Tapi bukan berarti dengan uang bisa meraih segala-galanya. Meski demikian komponen terbesar kehidupan suatu klub profesional adalah dana. Karena klub profesional harus punya pemain yang berkualitas tinggi. Nah tipe pemain seperti itu tentunya memiliki harga yang tinggi pula berbeda dengan pemain medioker. Dulu era 1980-an, Kramayudha merupakan salah satu tim terbaik Tanah Air dengan materi pemain bertabur bintang. Kita tahu ada Herry Kiswanto, Edi Harto, Bambang Nurdiansyah dan beberapa pemain top Indonesia lainnya. Kondisi itu hampir sama dengan SFC saat ini yang memiliki 5 sampai 6 anggota tim nasional Indonesia plus pemain asing berkualitas. Artinya tanpa adanya pendanaan yang memadai sulit berharap klub profesional punya prestasi yang baik.

Kalau dulu klub tidak sulit mendapatkan sponsor. Hal itu berbanding terbalik dengan kondisi sekarang. Menurut Anda apa yang menjadi kendala klub memperoleh pendanaan melalui sponsor?


Kalau Kramayudha dulu itu memang dibiayai 100% oleh perusahaan otomotif besar di Indonesia. Kalau SFC saat ini dan kebanyakan klub Indonesia lainnya mendapatkan dana hasil urunan beberapa perusahaan dan APBD. Sementara dana APBD mulai tahun 2012 sudah tidak boleh digunakan. Tapi masih bisa untuk memfasilitasi. Kalau memfasilitasi maka jumlahnya tidak akan sebesar dana hibah seperti sebelumnya, artinya mungkin tinggal 10-20% dari total kebutuhan satu musim. Sehingga manajemen harus mencari sisa 80% anggaran yang dibutuhkan. Kita akui kondisi itu tidak mudah.

Jadi idealnya menurut Anda?


Kalau menurut saya pribadi, sebenarnya sah-sah saja klub bola didanai APBD. Karena sepak bola menjadi kebutuhan masyarakat, tempat mencurahkan emosional masyarakat dan simbol identitas daerah. SFC bisa membangkitkan kebanggaan masyarakat Sumsel, jadi wajar dibiayai uang rakyat. Yang terpenting itu pemakaian dana tersebut akuntabel.

Apakah tanpa APBD SFC akan kolaps?


Setiap permasalahan ada jalan keluarnya. SFC saat ini dituntut lebih kreatif menggali sumber pendapatan alternatif yang selama ini belum digarap maksimal seperti sponsor, produk yang dijual (merchandise) dan hak siar. Hak siar televisi itu juga bisa dimaksimalkan seperti liga profesional lainnya. Tapi saya menilai di Indonesia hak siar belum dapat tempat yang baik. Contohnya saja pertandingan final Piala Indonesia dimana seharusnya media yang memiliki hak siar membayar kepada klub. Tapi kenyataannya klub yang bermain di laga final itu tidak mendapat apa-apa selain hadiah turnamen yang itu pun mesti menunggu beberapa bulan untuk dicairkan. (*)

Tidak ada komentar: