PALEMBANG (SINDO) – Direktur Eksekutif Women’s Crisis Centre (WCC) Palembang Yeni Roslaini Izi mengatakan, jumlah laporan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam kurun waktu triwulan I/2008 ini mencapai 240 kasus. Dia mengatakan, dibandingkan data tahun-tahun sebelumnya, tren pelaporan kasus KDRT mengalami peningkatan signifikan.
WCC Palembang mencatat pada 2004 terdapat 130 kasus KDRT yang masuk ke WCC, lalu meningkat menjadi 297 kasus pada 2005, dan pada 2006 sebanyak 324 kasus. “Data yang kita punya itu tidak mencerminkan jumlah sesungguhnya yang terjadi di masyarakat. Sebab, kasus kekerasan terhadap perempuan ini seperti fenomena gunung es, yang tampak puncaknya saja,” katanya kemarin.
Menurut Yeni, di antara bentuk-bentuk KDRT yang terdata pihaknya, salah satu yang menjadi perhatian adalah kasus incest (kawin sedarah) yang semakin sering terjadi. Jika selama 2007 lalu terdapat tujuh kasus incest, maka pada 2008 jumlah itu telah tercapai dalam triwulan pertama saja. ”Dari segi usia para korban yang masih sangat belia, tentu saja hal itu sangat memengaruhi kehidupan mereka di masa depan. Usia para korban berkisar antara 8–17 tahun. Dari hasil pendampingan kita, para korban mengalami trauma berat setelah mereka berhasil keluar dari jeratan pelaku,” terangnya.
Yeni mengungkapkan, pola asuh yang selama ini diterapkan orangtua sudah saatnya diubah. Hal itu disebabkan paradigma yang selama ini ditanamkan kepada anak untuk mematuhi orang yang lebih tua darinya, sering kali digunakan untuk mengintimidasi. ”Bukan lantas kita mendukung anak tidak patuh kepada orang yang lebih tua. Tetapi, harusnya anak sejak dini diberi tahu perbuatan yang baik dan buruk atau perbuatan yang diperbolehkan dan dilarang. Jadi, mereka dapat mengantisipasi dan membentengi dirinya dari perbuatan yang tidak baik,” ungkapnya.
Sementara itu, psikolog dari Lembaga Pengembangan SDM Bina Mental Pradiana Padma mengatakan, perbuatan incest masuk dalam kategori penyimpangan perilaku seksual. Selain disebabkan tidak terkontrolnya dorongan kebutuhan biologis pelaku, peristiwa itu juga bisa dipicu dorongan psikologis yang mendapat rangsangan dari luar diri pelaku. ”Kemajuan teknologi yang tidak dibarengi dengan benteng moral yang kuat dari seorang manusia bisa menjerumuskan individu tersebut ke dalam perbuatan di luar logika,” tandasnya kemarin.
Bahkan, Pradiana menilai, saat ini telah terjadi degradasi moral di tengah masyarakat. ”Gempuran teknologi internet dan tayangan televisi menjadi faktor pemicu maraknya kasus pelecehan seksual terhadap perempuan. Selain itu, rendahnya bekal agama dan moral yang dimiliki seseorang juga sangat berpengaruh terhadap perilaku menyimpang,” ujarnya. (iwan setiawan)
WCC Palembang mencatat pada 2004 terdapat 130 kasus KDRT yang masuk ke WCC, lalu meningkat menjadi 297 kasus pada 2005, dan pada 2006 sebanyak 324 kasus. “Data yang kita punya itu tidak mencerminkan jumlah sesungguhnya yang terjadi di masyarakat. Sebab, kasus kekerasan terhadap perempuan ini seperti fenomena gunung es, yang tampak puncaknya saja,” katanya kemarin.
Menurut Yeni, di antara bentuk-bentuk KDRT yang terdata pihaknya, salah satu yang menjadi perhatian adalah kasus incest (kawin sedarah) yang semakin sering terjadi. Jika selama 2007 lalu terdapat tujuh kasus incest, maka pada 2008 jumlah itu telah tercapai dalam triwulan pertama saja. ”Dari segi usia para korban yang masih sangat belia, tentu saja hal itu sangat memengaruhi kehidupan mereka di masa depan. Usia para korban berkisar antara 8–17 tahun. Dari hasil pendampingan kita, para korban mengalami trauma berat setelah mereka berhasil keluar dari jeratan pelaku,” terangnya.
Yeni mengungkapkan, pola asuh yang selama ini diterapkan orangtua sudah saatnya diubah. Hal itu disebabkan paradigma yang selama ini ditanamkan kepada anak untuk mematuhi orang yang lebih tua darinya, sering kali digunakan untuk mengintimidasi. ”Bukan lantas kita mendukung anak tidak patuh kepada orang yang lebih tua. Tetapi, harusnya anak sejak dini diberi tahu perbuatan yang baik dan buruk atau perbuatan yang diperbolehkan dan dilarang. Jadi, mereka dapat mengantisipasi dan membentengi dirinya dari perbuatan yang tidak baik,” ungkapnya.
Sementara itu, psikolog dari Lembaga Pengembangan SDM Bina Mental Pradiana Padma mengatakan, perbuatan incest masuk dalam kategori penyimpangan perilaku seksual. Selain disebabkan tidak terkontrolnya dorongan kebutuhan biologis pelaku, peristiwa itu juga bisa dipicu dorongan psikologis yang mendapat rangsangan dari luar diri pelaku. ”Kemajuan teknologi yang tidak dibarengi dengan benteng moral yang kuat dari seorang manusia bisa menjerumuskan individu tersebut ke dalam perbuatan di luar logika,” tandasnya kemarin.
Bahkan, Pradiana menilai, saat ini telah terjadi degradasi moral di tengah masyarakat. ”Gempuran teknologi internet dan tayangan televisi menjadi faktor pemicu maraknya kasus pelecehan seksual terhadap perempuan. Selain itu, rendahnya bekal agama dan moral yang dimiliki seseorang juga sangat berpengaruh terhadap perilaku menyimpang,” ujarnya. (iwan setiawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar